Sejarah Berlanjut: Urban Klan Genghis Khan di Ibu Kota Mongolia

By National Geographic Indonesia, Selasa, 9 Mei 2023 | 10:57 WIB
Dengan sakit hati, Ochkhuu (kiri) dan ayah mertuanya, Jaya, membuang bangkai domba dan kambing setelah musim dingin 2009-2010, yang membunuh jutaan ternak di seluruh Mongolia. Kawasan ini sarat dengan sejarah Ganghis Khan. (MARK LEONG/NATIONAL GEOGRAPHIC)

Mobil itu lalu membawanya pindah ke Ulanbator, ibu kota Mongolia yang semakin meluas. Dengan tubuh ramping dan tampilan bermartabat, Ochkhuu tidak menampakkan tanda-tanda kegalauan tatkala sibuk mengemas, mengangkat, membongkar, dan menata kembali barang bawaannya.

Beberapa jam setelah tiba, Ochkhuu sudah merampungkan tendanya atau ger—rumah tradisional kaum nomad berbentuk bundar. Tenda itu berdiri di atas lahan kosong yang sempit dan berpagar yang di­sewanya di pinggiran kota.

Di sekelilingnya terdapat ribuan lahan lainnya, masing-masing dengan ger di bagian tengah, berdesakan di sejumlah lereng yang menghadap ke Ulanbator.

Setelah pipa tungkunya berdiri dan tiang-tiang tendanya terpasang, dia membukakan pintu untuk istrinya, Norvoo; putranya yang masih bayi, Ulaka; dan putrinya yang berusia enam tahun, Anuka.

Norvoo juga dengan lega mengerjakan tugas yang tengah di­anganinya. Ditepisnya rasa khawatirnya sejenak untuk memastikan ger-nya terasa sama nyamannya dengan rumahnya di desa.

Lautan hijau, Mongolia adalah negara berpenduduk paling jarang di dunia, dengan hanya kurang dari tiga juta orang di daratan yang lebih besar dari Alaska. Budaya Mongolia—fisik, bergerak, mandiri, dan bebas—berkembang di padang rumput sini. Ketika orang pindah ke Ulaanbaatar, mereka membawa mentalit (MARK LEONG/NATIONAL GEOGRAPHIC)

Namun, di luar pintunya, pemandangan benar-benar berbeda dengan pemandangan di stepa yang berjarak satu jam perjalanan ke barat daya ibu kota.

Di sini, sebagai pengganti lapangan rumput, tampak pagar kayu setinggi dua meter yang berjarak beberapa meter dari ger. Dan sebagai pengganti ternak yang disayangi Ochkhuu—kawanan kuda, sapi, dan biri-biri—hanya ada anjing induk semang.

Banyak sekali gangguan di daerah kumuh yang rumah-rumahnya sudah hampir rubuh, atau kawasan ger; di situlah sekitar 60 persen dari 1,2 juta penduduk Ulanbator tinggal tanpa jalan beraspal, sanitasi, atau air leding. Seperti di daerah kumuh perkotaan lainnya, kawasan ger sarat dengan kriminalitas, minuman keras, kemiskinan, dan rasa putus asa.

“Begitu kita melangkah ke luar ger, yang kita saksikan hanyalah pagar itu,” kata Ochkhuu. “Seperti tinggal di dalam kotak.”

Kaum nomaden tidak cocok tinggal di dalam kotak, tetapi Ochkhuu dan Norvoo berada di situ bukan atas keinginan mereka sendiri. Pada musim dingin 2009-2010, sebagian besar ternak mereka tewas karena beku atau kelaparan saat terjadi dzud putih.

Musim ini ditandai dengan salju, es, dan cuaca dingin menggigit yang mencekam, yang terjadi setelah musim panas yang kering. Musim itu berlangsung lebih dari empat bulan.