R.A.A Natadiningrat kemudian dikaruniai putra bernama Raden Bagus Djajawinata, seorang bupati Serang yang sohor di zamannya. Ia kemudian menikah dengan Ratu Salehah yang berasal dari Cipete.
Dari pernikahan inilah, mereka dikaruniai delapan orang anak: Achmad Djajadiningrat, Muhamad, Hoessein Djajadiningrat, Hadijah, Lukman, Sulasmi, Hilman, dan Rifki. Dari sini, Hoessein ambil bagian meneruskan tren positif dari keturunan Raden Wirasoeta.
Berkat perantauan keilmuannya hingga ke Belanda, "Hoessein tidak hanya dikenal sebagai pribumi yang mampu merengkuh gelar doktor pertama di Hindia Belanda, namun juga menjadi seorang intelektualis yang disegani di orang-orang Eropa," imbuh Agus.
Setelah berlelah-lelah belajar hingga ke negeri Belanda sampai bergelar doktor dan kembali dengan sejumlah karya pemikirannya, Hoessein Djajadiningrat pada akhirnya bertemu dengan sang pujaan hatinya.
Suatu ketika Hoessein, yang kala itu disegani oleh orang-orang Belanda karena keilmuannya, sedang berada di Batavia. Di momen itulah untuk pertama kalinya ia bertemu dengan Partini yang sedang berkunjung bersama ayahnya, Mangkunegara VII, sekira 1918.
Bendara Raden Adjeng (BRA) Partini merupakan putri sulung dari Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara VII. Hoessein tahu dia sedang bertemu dengan seorang penguasa kadipaten bersama putrinya.
Pertemuan itu mendebarkan bagi Hoessein, sebelum akhirnya mereka bertemu kedua kalinya di Surakarta. Pertemuan kedua mereka terjadi tatkala dihelatnya Kongres Java Instituut di tahun 1919.
Ketika Partini sedang berkumpul bersama segenap anggota lainnya, Hoessein muncul sebagai ketua kongresnya. Pertemuan kedua inilah menjadi bermulanya hubungan asmara mereka. Mereka melanjutkan hubungannya dengan saling berbalas surat.
Sampai tibalah saat yang dinantikan, pada hari Minggu, 9 Januari 1921. Hari itu pesta pernikahan yang megah menjadi saksi bukti cinta dua bangsawan yang sohor di tanah Jawa, mengikat Banten dengan Surakarta.
Disebutkan bahwa pernikahan di Pura Mangkunegaran itu berlangsung sakral. Pernikahan dilangsungkan dengan adat khas Surakarta, mengingat bahwa BRA Partini merupakan putri dari penguasa Mangkunegaran. Pernikahan yang menyatukan sejarah keluarga bangsawan.
Baca Juga: Meneladani Mangkunegara VI, Sang Reformis yang Nyaris Terlupakan