Hull, seorang pengamat kebijakan Kesehatan dari Australia National University, menuliskan bahwa dokter Sulianti meminta pemerintah agar membuat kebijakan mendukung penggunaan kontrasepsi melalui sistem kesehatan masyarakat.
Bagi Sulianti Saroso, yang mendesak dan terpenting adalah bukan diskusi; melainkan aksi nyata untuk memperbaiki malnutrisi, kemiskinan, buruknya kesehatan ibu dan anak, dan kelahiran yang tak terkontrol.
Melalui RRI Yogyakarta dan Harian Kedaulatan Rakjat, beliau menyampaikan gagasan mengenai pendidikan seks, alat kontrasepsi, dan pengendalian kehamilan. Namun, gagasan bersejarah yang pertama kali diusulkan di Indonesia itu ditentang dan mendapat teguran dari Kementerian Kesehatan.
Tidak menyerah, Sulianti Saroso memerjuangkan ide program keluarga berencana (KB) melalui jalur swasta. Bersama sejumlah aktivis perempuan, ia mendirikan Yayaasan Kesejahteraan Keluarga (YKK) untuk menginisiasi kliniki-klinik swasta melayani program KB di berbagai kota. Di Lemah Abang Bekasi, ia mendirikan pos layanan dengan model sistem pelayanan ibu dan anak dengan tujuan akhirnya bukan pelayanan medik melainkan kehidupan ibu dan anak yang sehat dan bahagia.
Ia tidak ingin terpuruk akan kemelut suaminya, Saroso, seorang pejabat Kementerian Perekonomian yang terbentur masalah politis kala itu. Sulianti mengambil beasiswa di Tulane Medical School, New Orleans, Lousiana. Dalam lima tahun ia meraih gelah MPH dan PhD dengan disertasi mengenai epidemiologi bakteri E-coli.
Setahun usai menyelesaikan gelar PhD Sulianti menjadi asisten profesor di Tulane. Lalu mengajukan lamaran menjadi profesional di Kantor Pusat WHO di Geneva Swiss, dan diterima.
Baca Juga: Sulianti Saroso, Dokter Peduli Penyakit Menular dan Keluarga Berencana
Baca Juga: Perubahan Iklim: Permasalahan yang Memicu Krisis Kesehatan Masyarakat
Baca Juga: Pesjati, Takdir Balita Penyintas Pagebluk Pes di Hindia Belanda
Baca Juga: Karut-Marut Pagebluk Pes Pertama di Hindia Belanda
Namun, Profesor GA Siwabessy Menteri Kesehatan kala itu memintanya untuk tetap di Indonesia. Tak lama, Sulianti diangkat menjadi Dirjen P4M dan Direktur LRKN yang kini Balitbang Kementerian Kesehatan. Ia tetap diijinkan aktif di WHO. Sewaktu menjabat menjadi Dirjen P4M Profesor Sulianti mendeklarasikan Indonesia bebas cacar.
Masih aktif di WHO, Sulianti Saroso menjadi pakar dan pengawas pada Pusat Penelitian Diare di Dakka Bangladesh. Di dalam negeri, Sulianti Saroso adalah seorang staf ahli kementerian.
Pada era 1970 hingga 1980 gagasannya tentang pengendalian penyakit menular, keluarga berencana (KB), dan kesehatan ibu dan anak secara bertahap diadopsi menjadi kebijakan pemerintah.
Meski memiliki kepedulian besar tentang KB, menurut Dita Saroso putrinya, mengatakan bahwa ibunya tak sempat turut terlibat dalam BKKBN seperti yang dilansir dari Indonesia.go.id
Sampai akhir hayatnya, Sulianti Saroso terus teribat aktif sebagai konsultan untuk lembaga internasional WHO dan UNICEF. Dokter yang peduli dengan kesehatan masyarakat ini, tak lelah menghantarkan terobosan barunya di bidang pencegahan dan pengendalian penyakit menular dan keluarga berencana. Namanya abadi dalam sejarah dinamika kesehatan Indoneia.