Nationalgeographic.co.id— “Di belakang saya ini ada peta lama waktu Stadsgemeente,” kata FX Domini BB Hera dengan suara yang menggema. Di selasar balai kota, dia menunjuk peta besar dalam pigura sembari memaparkan, “Kota Malang didirikan 1 April 1914. Sebuah kota yang tidak banyak diketahui sebelumya.”
Peta lawas itu menggambarkan hamparan kompleks permukiman modern yang menyeruak di antara kampung dan sawah. Denah kota baru itu disayat bulevar-bulevar lebar, taman-taman, dan sederet prasarana publik. Dari gerbang Stasiun Malang Baru seruas bulevar lurus menuju balai kota ini.
Sisco, panggilan akrabnya, adalah sejarawan dan peneliti pada Center for Culture and Frontier Studies di Universitas Brawijaya.
Kami beranjak menyusuri tangga menuju balkon. Tampak ragam kendaraan bermotor berarak di pusaran lalu lintas depan balkon. Pusaran searah jarum jam itu ibarat perjalanan kota melintasi dinamikanya. Sejatinya, kotapraja cantik ini menyimpan riwayat luka pagebluk pada pondasi kotanya.
Sebagai seorang yang tumbuh besar di sini, dia mengamati bahwa kecamuk perkembangan dan pembangunan di kotanya begitu masif.
“Namun, kelihatan bahwa [arsitek] Karsten bersama wali kota pertama Malang menyesuaikan pembangunan infrastruktur Malang dengan mempertimbangkan aspek-aspek wabah,” ujarnya. “Semisal sanitasi dan jalur air, mengingat baksil-baksil Yersenia pestis dalam kutu tikus benar-benar diperhatikan.”
Baca Juga: Singkap Jejak Kediaman Sang Mayor yang Meraja Gula di Surabaya
Kampung Kayutangan, yang berada di jantung kota, merupakan salah satu kampung dalam proyek penataan kota oleh pemerintah kolonial demi memberantas pes.
“Di sana jalur-jalur sungainya bentukan baru dan juga dibangun ‘kamar air’ di beberapa mulut gang,” kata Sisco. Kamar air itu berfungsi untuk mengontrol debit air supaya pengendalian habitat tikus-tikus bisa ditangani dibandingkan masa sebelumnya.
Ketika pagebluk pes berjangkit pada 1911-1916, pemerintah kolonial membuat program De Kampong Verbetering—usaha perbaikan kampung dan mengganti rumah.
Jalur-jalur air rancangan zaman kolonial juga mengatur aspek-aspek tertentu terkait sanitasi. “Terutama tuk hunian bumiputra yang dianggap momok karena penyakit dan kumuh," ujarnya.
Kendati menjadi pagebluk besar, ingatan warga seolah sirna tentang peristiwa ini. “Yang aneh, di buku peringatan 25 tahun Gemeente Malang atau di buku laporan Kota Malang 1950-an,” kata Sisco penasaran, “narasi pes seolah-olah hilang.”
Kita memiliki pengalaman meremehkan datangnya pagebluk sehingga terlena dalam mitigasinya. Ketika kita menyadarinya, pagebluk itu sudah jauh merasuk. Apakah kita sudah berguru kepada pengalaman, atau melupakannya?
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR