Nationalgeographic.co.id— “Di belakang saya ini ada peta lama waktu Stadsgemeente,” kata FX Domini BB Hera dengan suara yang menggema. Di selasar balai kota, dia menunjuk peta besar dalam pigura sembari memaparkan, “Kota Malang didirikan 1 April 1914. Sebuah kota yang tidak banyak diketahui sebelumya.”
Peta lawas itu menggambarkan hamparan kompleks permukiman modern yang menyeruak di antara kampung dan sawah. Denah kota baru itu disayat bulevar-bulevar lebar, taman-taman, dan sederet prasarana publik. Dari gerbang Stasiun Malang Baru seruas bulevar lurus menuju balai kota ini.
Sisco, panggilan akrabnya, adalah sejarawan dan peneliti pada Center for Culture and Frontier Studies di Universitas Brawijaya.
Kami beranjak menyusuri tangga menuju balkon. Tampak ragam kendaraan bermotor berarak di pusaran lalu lintas depan balkon. Pusaran searah jarum jam itu ibarat perjalanan kota melintasi dinamikanya. Sejatinya, kotapraja cantik ini menyimpan riwayat luka pagebluk pada pondasi kotanya.
Sebagai seorang yang tumbuh besar di sini, dia mengamati bahwa kecamuk perkembangan dan pembangunan di kotanya begitu masif.
“Namun, kelihatan bahwa [arsitek] Karsten bersama wali kota pertama Malang menyesuaikan pembangunan infrastruktur Malang dengan mempertimbangkan aspek-aspek wabah,” ujarnya. “Semisal sanitasi dan jalur air, mengingat baksil-baksil Yersenia pestis dalam kutu tikus benar-benar diperhatikan.”
Baca Juga: Singkap Jejak Kediaman Sang Mayor yang Meraja Gula di Surabaya
Kampung Kayutangan, yang berada di jantung kota, merupakan salah satu kampung dalam proyek penataan kota oleh pemerintah kolonial demi memberantas pes.
“Di sana jalur-jalur sungainya bentukan baru dan juga dibangun ‘kamar air’ di beberapa mulut gang,” kata Sisco. Kamar air itu berfungsi untuk mengontrol debit air supaya pengendalian habitat tikus-tikus bisa ditangani dibandingkan masa sebelumnya.
Ketika pagebluk pes berjangkit pada 1911-1916, pemerintah kolonial membuat program De Kampong Verbetering—usaha perbaikan kampung dan mengganti rumah.
Jalur-jalur air rancangan zaman kolonial juga mengatur aspek-aspek tertentu terkait sanitasi. “Terutama tuk hunian bumiputra yang dianggap momok karena penyakit dan kumuh," ujarnya.
Kendati menjadi pagebluk besar, ingatan warga seolah sirna tentang peristiwa ini. “Yang aneh, di buku peringatan 25 tahun Gemeente Malang atau di buku laporan Kota Malang 1950-an,” kata Sisco penasaran, “narasi pes seolah-olah hilang.”
Kita memiliki pengalaman meremehkan datangnya pagebluk sehingga terlena dalam mitigasinya. Ketika kita menyadarinya, pagebluk itu sudah jauh merasuk. Apakah kita sudah berguru kepada pengalaman, atau melupakannya?
Biang keladi peristiwa pagebluk besar di Malang
Riwayat kota ini memang dibangun ketika kecamuk pagebluk pes berjangkit hebat. Tikus-tikus menjadi mimpi buruk yang memecah kedamaian dan kesejukan warganya. Kenapa wabah pes bisa terjadi di Malang?
“Sebenarnya ada banyak faktor,” kata Syefri Luwis, peneliti sejarah dan tim penulis buku Pandemi Influenza 1918 di Hindia Belanda. Salah satu faktor, menurutnya, pagebluk ini tergolong baru sehingga pemerintah kolonial Hindia Belanda dibikin terlena dengan meremehkannya. Mitigasi atas bencana pagebluk ini pun kedodoran dan bergerak lambat. Karut-marutnya pemberantasan pes mengakibatkan puluhan ribu jiwa melayang di Malang dan sekitarnya. Kawasan Malang benar-benar malang nasibnya.
Syefri mengatakan bahwa sebelum kasus Malang, pagebluk pes belum pernah terjadi di Jawa, bahkan Hindia Belanda. Pes atau sampar adalah zoonosis, penyakit yang penyebarannya dari hewan ke manusia. Penyakit ini berasal dari bakteri yang hidup di kutu-kutu tikus. Kutu tikus itu biasanya mencari inang-inang sehat untuk hidup.
Biasanya, tikus-tikus yang terinfeksi bakteri ini akan mengalami pembengkakan di limpa, atau getah beningnya. Putaran berikutnya, kutu-kutu yang terinfeksi itu mencari inang-inang baru lagi. “Permasalahnannya adalah ketika kutu-kutu itu tidak menemukan inang yang sehat, kutu-kutu itu bisa menyerang manusia,” ujarnya.
Penyakit pes telah mewabah di Asia terutama pada akhir 1800-an dan awal 1900-an. Sederet negara yang pernah terjangkiti adalah Tiongkok, Myanmar, dan di wilayah Arab Saudi tempat orang-orang berhaji.
Baca Juga: Nasib Penerbang RAF yang Pesawatnya Tertembak Jatuh di Surabaya
Pada 1905, kasus pes tercatat pertama kali di Hindia Belanda, tepatnya di perkebunan Deli, Sumatra Utara. Kebetulan penderitanya adalah dua kuli asal Tiongkok. Pemilik perkebunan segera mengisolasi mereka dalam stasiun karantina sehingga tidak sempat menjadi wabah yang meluas, demikian ungkap Syefri.
Kasus pes dianggap selesai saat itu. Kemudian Syefri menuturkan beberapa aspek bagaimana penyakit ini bisa berjangkit kembali sampai di Jawa, bahkan dalam skala yang mengerikan.
“Pada 1905-1910 terjadi kegagalan panen di Jawa,” ujarnya, "terutama Malang.” Jawa yang pernah dikenal pada abad sebelumnya sebagai lumbung padi dari timur itu menderita defisit beras. Akhirnya, pemerintah kolonial mengimpor beras dari Myanmar. “Negara itu memiliki riwayat pandemi pes,” tegas Syefri. “Namun, karena pemerintah kolonial tidak mau tahu dan tidak peduli, beras tersebut dikirim begitu saja.”
Beras impor dari Myanmar dikirim ke Pelabuhan Tanjungperak, Surabaya. Impor beras itu memuat tikus yang terinfeksi bakteri pes, namun tidak menyebarkan penyakit sama sekali saat disimpan di gudang-gudang pelabuhan. Baru setelah tiba di Malang, pagebluk pes menjalar-jalar dari kampung ke kampung. “Lucu dan ironis,” ucap Syefri.
Beras yang datang bersama tikus-tikus yang terinfeksi itu dikirim melalui gerbong-gerbong kereta dari Surabaya menuju Malang. “Ternyata pada Oktober-November, daerah antara Welingi dan Malang, itu terjadi hujan dan longsor,” demikian Syefri berkisah. “Jadi beras-beras tersebut akhirnya disimpan di gudang-gudang beras di daerah Turen.”
Dari Turen, kini bagian Kabupaten Malang, tikus yang terinfeksi kutu pes itu menyebar mencari inang baru ke tikus-tikus lokal di permukiman penduduk. Di sinilah awal mula bencana itu.
Malang berada wilayah pegunungan, ketinggiannya berkisar 440-460 meter di atas muka laut. Pada 1910, rata-rata suhu udara hariannya sekitar 14-16 derajat Celsius, sangai sejuk—jangan disandingkan dengan suhunya pada hari ini. Apabila dibandingkan dengan pesisir Surabaya yang panas, suhu di Malang tampaknya lebih cocok dengan tikus-tikus dan kutu-kutu itu. “Berdasar penelitian saya, kutu-kutu tikus di Surabaya tidak kuat ketika lepas dari inangnya.”
Hoaks, xenopobia, dan sentimen rasialisme
Syefri menatakan bahwa pada awalnya tuduhan biang keladi wabah pes bukan pada aktivitas mengimpor beras, melainkan orang-orang pergi haji. Tuduhan itu manjur karena pada 1911 pemerintah membangun karantina haji di Pulau Onrust, Batavia. “Cuma kenyataannya,” ujarnya, “pes masuk bukan lewat Tanjungpriok Batavia, melainkan Tanjungperak Surabaya.”
Selain tuduhan kepada muslim yang pulang berhaji, tuduhan penyebar pes juga ditujukan bagi orang-orang yang datang dari Tiongkok. Sentimen rasialisme selalu dimunculkan karena pemerintah kolonial tidak mau disalahkan karena impor beras.
Padahal, pasokan beras yang menurun ada penyebabnya. Selain paceklik pada tahun-tahun sebelumnya, kata Syefri, meluasnya perkebunan swasta telah menggeser tanah milik rakyat. Awalnya tanah itu ditanami padi, berubah menjadi tanaman perkebunan.
Baca Juga: Riwayat Kiprah Tabib Cina di Nusantara
Kita menjumpai respons yang mirip ketika COVID-19 menyeruak ke dari Tiongkok ke Indonesia, dan sederet negara-negara maju. Ada perlakuan tidak menyenangkan yang ditujukan kepada orang-orang Cina di beberapa negara hanya karena virus bermula dari salah satu provinsinya. Seorang kawan bercerita, tukang sayurnya sampai menjaga jarak dengan orang-orang Tionghoa hanya karena virus berasal dari Tiongkok. Selama pagebluk, Komisi HAM Australia telah menerima banyak laporan resmi diskriminasi dan rasisme yang ditujukan kepada komunitas Asia di negeri itu.
Pemerintah Hindia Belanda meremehkan datangnya penyakit pes
Penemuan korban tewas pertama kali dilaporkan pada awal musim penghujan 1910. Sepanjang musim itu sejatinya sudah banyak jatuh korban jiwa tanpa diketahui penyebab penyakitnya. Namun, barulah pada akhir Maret tahun berikutnya, seorang dokter mengirimkan sampel darah dari pasien dari Malang ke laboratorium medis di Weltevreden, Batavia. Hasilnya, terdapat bakteri penyebab pes dalam sampel daerah itu.
Sementara itu pemerintah kolonial selalu berdalih tidak ada wabah pes di Malang, melainkan “hanya” malaria. Syefri mencatat laporan korbannya—kendati dia menganggap angka itu sengaja direduksi pemerintah. Akibat meremehkan datangnya kasus pes di Malang, pemerintah kolonial terkesiap saat melihat catatan korban pes mencapai dua ribuan orang sepanjang 1911!
“Semua sudah terlambat,” ujar Syefri. “Pemerintah jadi kebingungan.” Krisis ini diperparah lantaran dokter-dokter Belanda ternyata tidak bernyali untuk datang ke Malang. Barangkali karena mereka memiliki sejarah kelam terkait wabah pes pada abad ke-14, yang membunuh sepertiga populasi Eropa. “Hampir yang mengerjakan itu semua adalah dokter pribumi. Dokter Belanda itu amat sangat takut.”
Kebetulan, pada tahun yang sama pemerintah Hindia Belanda membentuk BGD Burgerlijk Geneeskundige Dienst (BGD)—atau Dinas Kesehatan Masyarakat. Lembaga itu dibentuk ketika penyakit pes berjangkit, sehingga pada saat yang sama harus bekerja keras juga untuk memberantas wabah di Malang. Setidaknya, ada tiga ragam penyakit pes yang diderita warga Malang dalam penelitian Syefri, yakni pes bubo, pes paru-paru, dan pes septikemia.
Syefri melanjutkan berkisah, berita pagebluk pes di Malang ternyata sampai juga ke daratan Eropa. Banyak dokter di Eropa yang menawarkan diri untuk membantu, tetapi ditolak oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. “Dari asumsi saya, pemerintah kolonial tidak mau orang Eropa di sana melihat kenyataan bahwa rakyat Hindia Belanda sangat sengsara.”
Baca Juga: Operasi Perawat, Misi Gerilyawan Surabaya yang Terlupakan Sejarah
Dokter Eropa memang langka di Malang. Mereka membuka prakteknya, mengenakan tarif yang tak terjangkau masyarakat. Ketika dokter tak terjangkau, dukun menjadi pilihan warga.
“Efek samping dari itu adalah dukun-dukun naik daun,” kata Syefri. Penyembuhannya pun dengan berbagai cara: coretan-coretan sosok penjaga di sisi depan rumah sebagai penolak pagebluk, sampai minum jamu-jamuan atau empon-empon supaya tetap fit.
Dia menambahkan, pada pagebluk ini ironisnya banyak juga korban tewas karena percobaan vaksin-vaksin baru.
Vaksin pes yang aman untuk manusia baru ditemukan pada 1934 oleh seorang pemain bola, yang juga seorang dokter tentunya. Dokter Louis “Lou” Otten (1883-1946).
Awalnya, dia meniti karir sebagai peneliti di Eijkman Instituut di Batavia. Di Bandung, namanya diabadikan sebagai jalan—Jalan dr. Otten—karena dia pernah menjabat sebagai Direktur di Pasteur Instituut Bandung, kini Bio Farma, pada 1924-1942. Program vakinasi massal dimulai pada 1935, dan wabah pes di Jawa baru berhenti pada 1939.
Sosialisasi tidak efektif
Di gerbang-gerbang desa, imbuhnya, dipasang bendera warna merah yang berarti desa itu terjangkit pagebluk. Di sampingnya terpasang papan peringatan beraksara Jawa yang bertuliskan: “Pada desa ini telah terjangkit penyakit yang sangat menular, penyakit ini dinamakan Pes. Jangan memasuki rumah-rumah yang ada di sekitar ini. Jangan menginap di kampung ini, jangan biarkan seorang pun dari kampung ini menginap di rumahmu. Jangan mengambil atau mengenakan pakaian apapun dari desa ini.”
Artinya, harus ada satu orang yang terpelajar untuk membacakan isi pemberitahuan ini. Syefri tidak yakin komunikasi melalui pesan dalam papan peringatan itu sampai kepada masyarakat.
Pemerintah Hindia Belanda juga menerbitkan semacam buku pedoman memberantas penyakit pes. Salah satu buku yang dipegangnya berjudul Penyakit Pest di Tanah Djawa dan Daja Oepaja Akan Menolak Dia, yang ditulis Kd. Ardiwinata. Buku diterbitkan oleh Volkslectuur di Betawi pada 1915. Namun, sambungnya, permasalahannya, penduduk Hindia Belanda yang bisa membaca pada saat itu kurang dari sepuluh persen.
Sejarah tampaknya berulang. Dia memarodikan pesan-pesan pemerintah terkait pagebluk COVID-19 yang disampaikan dalam istilah bahasa yang tidak mudah dipahami masyarakat. Untuk konteks hari ini, imbuhnya, tampaknya pemerintah memerlukan keterlibatan antropolog dan ahli bahasa untuk berkomunikasi dengan masyarakat. Dia mengamati banyak pesan yang tidak sampai ke masyarakat bawah karena tidak komunikatif dan tidak tegas.
Baca Juga: Baca Juga: Benteng Makasar, Kenangan Sepetak Pecinan Tangerang di Zaman VOC
“Satu lagi hal yang menjadi pertanyaan saya, kenapa pakai bahasa Inggris? Social Distancing, Lockdown?” ujarnya. “Itu mengulang seperti zaman kolonial Hindia Belanda. Banyak orang tidak bisa baca pada zaman dahulu, kalau sekarang tidak semua orang paham bahasa inggris.”
Isolasi atau karantina kota pertama di Hindia Belanda
Burgerlijk Geneeskundige Dienst (BGD) merupakan dinas yang paling berwenang menentukan kebijakan isolasi atau karantina kota terkait pagebluk. Kebijakan isolasi memiliki landasan hukumnya, yang sudah ada sejak akhir 1800-an. terutama karantina orang-orang yang masuk ke Hindia Belanda. Namun demikian, seperti kebijakan karantina ketika COVID-19 berjangkit di Indonesia, secara umum pemerintah Hindia Belanda pun menyikapinya dengan angin-anginan—tidak menjalankan dengan baik.
Pada awalnya, keputusan isolasi Malang menuai perdebatan antardokter di Hindia Belanda. Namun, pada akhirnya keputusan itu tetap dilaksanakan. Sepanjang 1911-1912, Malang tertutup untuk semua. Warga yang menghuninya tidak bisa keluar, sementara warga dari luar pun tidak bisa memasuki Malang.
Ketika Malang diisolasi, masyarakat tetap mencari kebutuhan pokok sendiri. Pemerintah kolonial Hindia Belanda memberikan uang juga kepada mereka yang dipindah ke barak-barak. Namun, kebijakan tidak berjalan mudah karena uang yang diberikan tidak mencukupi kebutuhan. Masyarakat yang tinggal di barak-barak pun kembali untuk mencari hasil kebunnya mereka.
Sebuah kampung yang terjangkit penyakit pes, warganya akan dipindahkan ke barak khusus. Bangunan kayu dan gedek yang berada di tengah tanah lapang. Barak ini menampung belasan hingga puluhan rumah, yang dikelilingi pagar kawat berduri dengan penjagaan militer. Penghuninya tidak bisa bebas keluar.
Syefri menyampaikan data bahwa kebijakan isolasi sepanjang 1911-1912 dapat menekan jumlah korban. Dalam catatannya, korban jiwa setiap tahunnya 2.000-an jiwa. Menurutnya BGD keras dan tegas dalam kebijakan isolasi. Setiap perbatasan dijaga oleh militer. “Kalau mereka menerobos, tembak mati,” ujarnya.
Kebijakan ini menuai protes dari para pemilik pabrik gula, perkebunan tebu, tembakau, dan kopi. Mereka meminta kebijakan isolasi itu segera disudahi. Pasalnya, kuli-kuli yang menjadi pekerja perkebunan tebu dan pabrik gula di sekitar Malang tidak bisa bekerja.
Anehnya, BGD menyetujui permintaan mereka untuk membuka isolasi kendati pes masih mewabah. Akibatnya, pada 1913, korban pagebluk meningkat lima kali lipat—mencapai 11.384 jiwa. Pun, pada 1914 korbannya sampai 15.751 jiwa! “Efeknya sangat parah,” kata Syefri. “Namun saya yakin jumlah korban tersebut direduksi oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda karena mereka malu.”
Kehadiran Dokter Tjipto dan Bangkitnya Ideologi Baru
Dokter-dokter Eropa tidak mau datang ke Malang. Akhirnya dokter-dokter bumi putra yang merawat pasien, meski tanpa alat pelindung diri. Kendati demikian, kebutuhan dokter masih jauh di bawah cukup.
Solusinya, pemerintah meminta mahasiswa-mahasiwa STOVIA semester akhir untuk merawat korban pes. Syefri menambahkan, “Kalau ikut datang memberantas pes di Malang, mereka dianggap lulus ngga perlu bikin tesis.”
Saat krisis tenaga medis itulah muncul Dokter Tjipto Mangoenkoesoemo (1886-1943). Dia seorang lulusan STOVIA dan kelahiran Japara, yang dengan kesadaran sendiri turun tangan ke Malang pada April 1911.
Tjipto menjelajahi penjuru Malang untuk berjumpa dengan para penderita pes. Karena minimnya alat pelindung diri (APD) untuk tenaga medis, dia pun tak menggunakan masker atau sarung tangan saat mendiagnosis pasiennya.
Sejarah tampaknya berulang.
“Kalau konteks sekarang banyak dokter berteriak soal alat perlindungan diri untuk penanganan COVID-19,” ungkap Syefri, “Nah, dokter-dokter bumiputra saat merawat korban pes juga banyak yang berteriak. Mereka tidak dapat APD. Kalaupun ada, jumlahnya sedikit.”
Baca Juga: Seberapa Banyak Jalan Ki Hajar Dewantara di Indonesia?
Di salah satu desa yang penduduknya habis, Tjipto menemukan bayi perempuan yang bersanding dengan jenazah kedua orang tuanya. Ajaibnya, bayi itu masih hidup tanpa terkena penyakit pes. Lalu, Tjipto mengadopsi bayi perempuan itu sebagai anaknya.
“Namanya Pesjati," kata Syefri. "Itulah yang membuat Tjipto menjadi legenda.”
Atas jasanya dalam memberantas pes di Malang, pada Agustus 1912, Tjipto menerima penghargaan. Dia patut berbangga menerima anugerah bintang “Orde van Oranje Nassau” dari pemerintah Hindia Belanda.
Semenjak kepindahannya ke Bandung, Tjipto menjadi jurnalis harian de Express dan majalah het Tijdschrijft. Dia berjumpa kembali dengan Douwes Dekker dan RM Soerjadi Soerjaningrat. Petualangan politiknya bermula ketika mereka menyuarakan bahwa perayaan seabad kemerdekaan Belanda adalah suatu penghinaan bagi bumi putra. Tjipto menulis untuk memboikot perayaan itu. Pertengahan 1913 ketiganya ditahan. Kemudian, karena dianggap mempropagandakan anti-pemerintah, mereka diasingkan ke Belanda.
Pada Januari 1914, dalam pengasingannya di Den Haag, dia berkesempatan memaparkan pengalaman dan penelitiannya tentang penyakit pes berikut dengan cara pemberantasannya selama misi medisnya di Malang. Tajuk tulisannya, De Pest op Java en Hare Bestrijding.
Dokter Jawa itu mengemukakan bagaimana nasib para penderita pes. Mereka harus menderita karena penyakit sekaligus pengucilan masyarakat. Syefri mengutip pemaparan Tjipto bahwa penderita pes “tidak boleh masuk ke dalam rumah dan oleh sebab itu ia pergi merebahkan dirinya di bawah sebatang pohon untuk menunggu ajalnya.”
Bakteri pembawa penyakit pes tampaknya telah berkembang dan beradaptasi. Ia tidak hanya bertahan di daerah dingin, tetapi juga di daerah pesisir yang panas. Syefri menambahkan bahwa pada zaman kolonial terdapat tiga fase wabah pes di Jawa. Fase pertama, 1910-1916 di Jawa Timur. Fase kedua, 1919-1928 di Jawa Tengah. Fase ketiga, 1930-1939 di Jawa Barat.
Pada 1915, terjadi wabah pes merambah Surakarta, kampung halaman Tjipto. Dia meminta izin untuk turut membantu memberantasnya. Namun, pada kenyataannya, pemerintah Hindia Belanda tidak memberinya izin. “Ya, karena dia bikin tulisan yang banyak menyerang pemerintah kolonial,” kata Syefri.
Tjipto marah karena permohonannya tidak dikabulkan, dia mengembalikan bintang penghargaan itu ke pemerintah. Namun, “selama jalan kaki menuju di kantor, dia menaruh bintang itu di pantat,” ujarnya. “Jadi siapa pun yang melihat pantatnya, akan menghormat.”
Pagebluk pes juga telah membangkitkan gerakan politik baru di Jawa. Setelah Tjipto melayangkan protes kepada pemerintah, banyak dokter memprotes terkait kematian dokter-dokter lain karena tidak tersedianya alat pelindung diri.
Dan tanpa sadar, aktivitas itu sebagai bentuk latihan para dokter untuk menulis di surat kabar. Hampir semua pemikir awal itu adalah para dokter karena bersentuhan langsung dengan rakyat. Akhirnya, banyak juga dokter yang tidak lulus karena sibuk berpolitik. “Bangkitnya nasionalisme kita setelah wabah pes,” kata Syefri, “Ketika dokter-dokter banyak bersuara dan dokter-dokter menulis.”
Selain membangkitkan nasionalisme para dokter, wabah pes membangkitkan semangat memberontak. Salah satu tokoh yang kontra dengan cara pemerintah kolonial memberantas penyakit ini adalah Haji Misbach, tokoh pemikir kiri asal Surakarta. Dia membawa konsep perlawanan kepada pemerintah kolonial ke forum-forum, sehingga simpatisannya pun banyak.
Demi memerangi tikus-tikus pembawa pes, pemerintah Hindia Belanda memiliki De Kampong Verbettering dengan program 1,5 juta rumah layak huni untuk masyarakat miskin. Seperti kasus di Malang dan Surakarta, rumah-rumah warga yang terbuat dari kayu dan gedek dibongkar dan dibakar. Pemiliknya digiring untuk menghuni barak, sementara rumah bantuan pemerintah sedang dibangun. Selain banyak kasus harta yang hilang saat pembongkaran, rakyat juga dibebani biaya cicilan rumah.
“Dengan gaji yang cuma 20 sen perhari,” ungkapnya, “mereka harus berhutang sampai 50-100 gulden, dan dikenakan bunga juga.”
Haji Misbach, yang belakangan tokoh PKI, memprotes tentang cara pemerintah kolonial dalam program pemberantasan pes di rumah-rumah yang justru memberatkan rakyat. Protes itu disampaikannya dalam vergadering, ketika wabah pes berjangkit di Semarang.
“Cara gampang mencari massa, salah satunya dengan wabah penyakit,” ujar Syefri. “Kita bisa bermain retorika, orang akan banyak yang ikut.”
Apabila berkaca pada sejarah pagebluk, akankah muncul ideologi baru setelah COVID-19?
“Media sosial ini mengerikan buat saya,” kata Syefri. “Semua orang makin banyak yang bersuara.” Dia melihat ada kemiripan pola, setidaknya banyak orang mulai berani bersuara karena jatuhnya korban tidak hanya dari pasien, tetapi juga tenaga medis. “Mungkin itu bisa membentuk gerakan baru nantinya di era milenial ini,” ungkapnya. “Entah ada suatu gerakan baru atau ideologi baru.”
Pagebluk dan Kelahiran Kotapraja Malang
Sejak 1812, Malang hanyalah ibu kota kabupaten yang berada di bawah Karesidenan Pasuruan. Tujuh tahun kemudian, kota kecil ini diresmikan sebagai bagian Karesidenan Pasuruan. Sejak akhir abad ke-19, banyak investasi perkebunan di sekitar Malang. Jalur kereta Surabaya-Malang diresmikan. Sebelum pergantian abad, Malang-Blitar- Kediri pun telah terhubung jalan raya.
Pemerintah Hindia Belanda sudah merencanakan pembangunan beberapa kotapraja sejak 1905, salah satunya Malang. Bahkan, Gubernur Alexander Willem Frederik Idenburg, sebelum 1914 telah menyempatkan singgah di kawasan sejuk yang dikelilingi gunung-gunung ini.
Karena pagebluk yang berjangkit sejak 1911, pers dan para pemilik usaha perkebunan menekan pemerintah kolonial untuk mempercepat proses pembentukan Kotapraja Malang. Alasannya, demi percepatan koordinasi dalam program pemberantasan pes.
Status kotapraja memang terbukti membuat jalur koordinasi antarlembaga pemerintah kota lebih efisien. Sinergi Kotapraja, Dinas Kesehatan Masyarakat (BGD), dan Dinas Pemberantasan Pes (Dienst der Pestbestrijding) telah mempercepat pemberantasan pes di Malang. Kendati sepanjang 1914-1915 jumlah korbannya lebih dari 31.000 jiwa—yang tercatat, pada tahun berikutnya korban menurun menjadi 595 jiwa. Demikianlah, kotapraja cantik ini menyimpan riwayat luka pagebluk pada pondasi kotanya.
Kita tidak pernah benar-benar belajar dari pagebluk
Sisco mencoba mengamati kembali lingkungan kota kelahirannya. Dia tidak menemukan satupun penanda kota yang berkait tentang pagebluk hebat di masa silam Malang. Tampaknya kita lebih mengingat tentang bencana gempa bumi, tsunami atau erupsi gunung api. Entah itu lewat dongeng, legenda, atau bekas bangunan tertentu yang bisa dilihat dengan mata, demikian hematnya.
Pagebluk yang mendera leluhur kita pada masa silam tampaknya nyaris tak bersisa di memori kita. Bahkan, menurutnya, istilah pagebluk tidak pernah dijelaskan secara terperinci dalam bangunan kesadaran kultural alam bawah sadar kita.
“Akibatnya ketika wabah datang,” kata Sisco, “tak banyak hal efektif yang bisa diperbuat.” Dia pun membandingkan, masyarakat lebih sigap dalam mitigasi saat gempa atau letusan gunung berapi. “Ketiadaan infrastruktur memori kolektif akan wabah menandakan sebuah ketidak-siapsiagaan sebuah masyarakat.”
Untuk membangun memori bersama tentang pagebluk, demikian ungkap Sisco, catatan saja tampaknya tidak cukup. Menurutnya, perlu sebuah tengara sebagai manifestasi pagebluk dalam bentuk monumen fisik. Sebuah pesan penting harus tersirat di balik simbol bahwa bahaya pagebluk bisa mengancam sewaktu-waktu di masa depan. “Namun sampai hari ini,” ungkapnya, “di daerah Indonesia mana yang ada monumen tuk mengingat pernah ada pagebluk?”
Kotanya memiliki banyak monumen yang bertema militer, namun tidak ada yang menampilkan monumen bertema insani. Sisco lalu teringat sosok dokter Tjipto Mangoenkoesoemo yang nekat mengobati pasien tanpa alat pelindung diri sembari memberantas penyakit pes ketika pagebluk besar terjadi.
Kendati warga kota itu telah mengganti Wilhelminastraat dengan Jalan Cipto Mangunkusumo, tampaknya memori bersama itu tidak lengkap tanpa tengara kota. “Daku membayangkan patungnya kelak di Malang sambil menyelamatkan dan menggendong balita Pesjati yang menangis,” kata Sisco. “Indah sekaligus menyentuh pastinya.”
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR