Biang keladi peristiwa pagebluk besar di Malang
Riwayat kota ini memang dibangun ketika kecamuk pagebluk pes berjangkit hebat. Tikus-tikus menjadi mimpi buruk yang memecah kedamaian dan kesejukan warganya. Kenapa wabah pes bisa terjadi di Malang?
“Sebenarnya ada banyak faktor,” kata Syefri Luwis, peneliti sejarah dan tim penulis buku Pandemi Influenza 1918 di Hindia Belanda. Salah satu faktor, menurutnya, pagebluk ini tergolong baru sehingga pemerintah kolonial Hindia Belanda dibikin terlena dengan meremehkannya. Mitigasi atas bencana pagebluk ini pun kedodoran dan bergerak lambat. Karut-marutnya pemberantasan pes mengakibatkan puluhan ribu jiwa melayang di Malang dan sekitarnya. Kawasan Malang benar-benar malang nasibnya.
Syefri mengatakan bahwa sebelum kasus Malang, pagebluk pes belum pernah terjadi di Jawa, bahkan Hindia Belanda. Pes atau sampar adalah zoonosis, penyakit yang penyebarannya dari hewan ke manusia. Penyakit ini berasal dari bakteri yang hidup di kutu-kutu tikus. Kutu tikus itu biasanya mencari inang-inang sehat untuk hidup.
Biasanya, tikus-tikus yang terinfeksi bakteri ini akan mengalami pembengkakan di limpa, atau getah beningnya. Putaran berikutnya, kutu-kutu yang terinfeksi itu mencari inang-inang baru lagi. “Permasalahnannya adalah ketika kutu-kutu itu tidak menemukan inang yang sehat, kutu-kutu itu bisa menyerang manusia,” ujarnya.
Penyakit pes telah mewabah di Asia terutama pada akhir 1800-an dan awal 1900-an. Sederet negara yang pernah terjangkiti adalah Tiongkok, Myanmar, dan di wilayah Arab Saudi tempat orang-orang berhaji.
Baca Juga: Nasib Penerbang RAF yang Pesawatnya Tertembak Jatuh di Surabaya
Pada 1905, kasus pes tercatat pertama kali di Hindia Belanda, tepatnya di perkebunan Deli, Sumatra Utara. Kebetulan penderitanya adalah dua kuli asal Tiongkok. Pemilik perkebunan segera mengisolasi mereka dalam stasiun karantina sehingga tidak sempat menjadi wabah yang meluas, demikian ungkap Syefri.
Kasus pes dianggap selesai saat itu. Kemudian Syefri menuturkan beberapa aspek bagaimana penyakit ini bisa berjangkit kembali sampai di Jawa, bahkan dalam skala yang mengerikan.
“Pada 1905-1910 terjadi kegagalan panen di Jawa,” ujarnya, "terutama Malang.” Jawa yang pernah dikenal pada abad sebelumnya sebagai lumbung padi dari timur itu menderita defisit beras. Akhirnya, pemerintah kolonial mengimpor beras dari Myanmar. “Negara itu memiliki riwayat pandemi pes,” tegas Syefri. “Namun, karena pemerintah kolonial tidak mau tahu dan tidak peduli, beras tersebut dikirim begitu saja.”
Beras impor dari Myanmar dikirim ke Pelabuhan Tanjungperak, Surabaya. Impor beras itu memuat tikus yang terinfeksi bakteri pes, namun tidak menyebarkan penyakit sama sekali saat disimpan di gudang-gudang pelabuhan. Baru setelah tiba di Malang, pagebluk pes menjalar-jalar dari kampung ke kampung. “Lucu dan ironis,” ucap Syefri.
Beras yang datang bersama tikus-tikus yang terinfeksi itu dikirim melalui gerbong-gerbong kereta dari Surabaya menuju Malang. “Ternyata pada Oktober-November, daerah antara Welingi dan Malang, itu terjadi hujan dan longsor,” demikian Syefri berkisah. “Jadi beras-beras tersebut akhirnya disimpan di gudang-gudang beras di daerah Turen.”
Dari Turen, kini bagian Kabupaten Malang, tikus yang terinfeksi kutu pes itu menyebar mencari inang baru ke tikus-tikus lokal di permukiman penduduk. Di sinilah awal mula bencana itu.
Malang berada wilayah pegunungan, ketinggiannya berkisar 440-460 meter di atas muka laut. Pada 1910, rata-rata suhu udara hariannya sekitar 14-16 derajat Celsius, sangai sejuk—jangan disandingkan dengan suhunya pada hari ini. Apabila dibandingkan dengan pesisir Surabaya yang panas, suhu di Malang tampaknya lebih cocok dengan tikus-tikus dan kutu-kutu itu. “Berdasar penelitian saya, kutu-kutu tikus di Surabaya tidak kuat ketika lepas dari inangnya.”
Hoaks, xenopobia, dan sentimen rasialisme
Syefri menatakan bahwa pada awalnya tuduhan biang keladi wabah pes bukan pada aktivitas mengimpor beras, melainkan orang-orang pergi haji. Tuduhan itu manjur karena pada 1911 pemerintah membangun karantina haji di Pulau Onrust, Batavia. “Cuma kenyataannya,” ujarnya, “pes masuk bukan lewat Tanjungpriok Batavia, melainkan Tanjungperak Surabaya.”
Selain tuduhan kepada muslim yang pulang berhaji, tuduhan penyebar pes juga ditujukan bagi orang-orang yang datang dari Tiongkok. Sentimen rasialisme selalu dimunculkan karena pemerintah kolonial tidak mau disalahkan karena impor beras.
Padahal, pasokan beras yang menurun ada penyebabnya. Selain paceklik pada tahun-tahun sebelumnya, kata Syefri, meluasnya perkebunan swasta telah menggeser tanah milik rakyat. Awalnya tanah itu ditanami padi, berubah menjadi tanaman perkebunan.
Baca Juga: Riwayat Kiprah Tabib Cina di Nusantara
Kita menjumpai respons yang mirip ketika COVID-19 menyeruak ke dari Tiongkok ke Indonesia, dan sederet negara-negara maju. Ada perlakuan tidak menyenangkan yang ditujukan kepada orang-orang Cina di beberapa negara hanya karena virus bermula dari salah satu provinsinya. Seorang kawan bercerita, tukang sayurnya sampai menjaga jarak dengan orang-orang Tionghoa hanya karena virus berasal dari Tiongkok. Selama pagebluk, Komisi HAM Australia telah menerima banyak laporan resmi diskriminasi dan rasisme yang ditujukan kepada komunitas Asia di negeri itu.
Pemerintah Hindia Belanda meremehkan datangnya penyakit pes
Penemuan korban tewas pertama kali dilaporkan pada awal musim penghujan 1910. Sepanjang musim itu sejatinya sudah banyak jatuh korban jiwa tanpa diketahui penyebab penyakitnya. Namun, barulah pada akhir Maret tahun berikutnya, seorang dokter mengirimkan sampel darah dari pasien dari Malang ke laboratorium medis di Weltevreden, Batavia. Hasilnya, terdapat bakteri penyebab pes dalam sampel daerah itu.
Sementara itu pemerintah kolonial selalu berdalih tidak ada wabah pes di Malang, melainkan “hanya” malaria. Syefri mencatat laporan korbannya—kendati dia menganggap angka itu sengaja direduksi pemerintah. Akibat meremehkan datangnya kasus pes di Malang, pemerintah kolonial terkesiap saat melihat catatan korban pes mencapai dua ribuan orang sepanjang 1911!
“Semua sudah terlambat,” ujar Syefri. “Pemerintah jadi kebingungan.” Krisis ini diperparah lantaran dokter-dokter Belanda ternyata tidak bernyali untuk datang ke Malang. Barangkali karena mereka memiliki sejarah kelam terkait wabah pes pada abad ke-14, yang membunuh sepertiga populasi Eropa. “Hampir yang mengerjakan itu semua adalah dokter pribumi. Dokter Belanda itu amat sangat takut.”
Kebetulan, pada tahun yang sama pemerintah Hindia Belanda membentuk BGD Burgerlijk Geneeskundige Dienst (BGD)—atau Dinas Kesehatan Masyarakat. Lembaga itu dibentuk ketika penyakit pes berjangkit, sehingga pada saat yang sama harus bekerja keras juga untuk memberantas wabah di Malang. Setidaknya, ada tiga ragam penyakit pes yang diderita warga Malang dalam penelitian Syefri, yakni pes bubo, pes paru-paru, dan pes septikemia.
Syefri melanjutkan berkisah, berita pagebluk pes di Malang ternyata sampai juga ke daratan Eropa. Banyak dokter di Eropa yang menawarkan diri untuk membantu, tetapi ditolak oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. “Dari asumsi saya, pemerintah kolonial tidak mau orang Eropa di sana melihat kenyataan bahwa rakyat Hindia Belanda sangat sengsara.”
Baca Juga: Operasi Perawat, Misi Gerilyawan Surabaya yang Terlupakan Sejarah
Dokter Eropa memang langka di Malang. Mereka membuka prakteknya, mengenakan tarif yang tak terjangkau masyarakat. Ketika dokter tak terjangkau, dukun menjadi pilihan warga.
“Efek samping dari itu adalah dukun-dukun naik daun,” kata Syefri. Penyembuhannya pun dengan berbagai cara: coretan-coretan sosok penjaga di sisi depan rumah sebagai penolak pagebluk, sampai minum jamu-jamuan atau empon-empon supaya tetap fit.
Dia menambahkan, pada pagebluk ini ironisnya banyak juga korban tewas karena percobaan vaksin-vaksin baru.
Vaksin pes yang aman untuk manusia baru ditemukan pada 1934 oleh seorang pemain bola, yang juga seorang dokter tentunya. Dokter Louis “Lou” Otten (1883-1946).
Awalnya, dia meniti karir sebagai peneliti di Eijkman Instituut di Batavia. Di Bandung, namanya diabadikan sebagai jalan—Jalan dr. Otten—karena dia pernah menjabat sebagai Direktur di Pasteur Instituut Bandung, kini Bio Farma, pada 1924-1942. Program vakinasi massal dimulai pada 1935, dan wabah pes di Jawa baru berhenti pada 1939.
Sosialisasi tidak efektif
Di gerbang-gerbang desa, imbuhnya, dipasang bendera warna merah yang berarti desa itu terjangkit pagebluk. Di sampingnya terpasang papan peringatan beraksara Jawa yang bertuliskan: “Pada desa ini telah terjangkit penyakit yang sangat menular, penyakit ini dinamakan Pes. Jangan memasuki rumah-rumah yang ada di sekitar ini. Jangan menginap di kampung ini, jangan biarkan seorang pun dari kampung ini menginap di rumahmu. Jangan mengambil atau mengenakan pakaian apapun dari desa ini.”
Artinya, harus ada satu orang yang terpelajar untuk membacakan isi pemberitahuan ini. Syefri tidak yakin komunikasi melalui pesan dalam papan peringatan itu sampai kepada masyarakat.
Pemerintah Hindia Belanda juga menerbitkan semacam buku pedoman memberantas penyakit pes. Salah satu buku yang dipegangnya berjudul Penyakit Pest di Tanah Djawa dan Daja Oepaja Akan Menolak Dia, yang ditulis Kd. Ardiwinata. Buku diterbitkan oleh Volkslectuur di Betawi pada 1915. Namun, sambungnya, permasalahannya, penduduk Hindia Belanda yang bisa membaca pada saat itu kurang dari sepuluh persen.
Sejarah tampaknya berulang. Dia memarodikan pesan-pesan pemerintah terkait pagebluk COVID-19 yang disampaikan dalam istilah bahasa yang tidak mudah dipahami masyarakat. Untuk konteks hari ini, imbuhnya, tampaknya pemerintah memerlukan keterlibatan antropolog dan ahli bahasa untuk berkomunikasi dengan masyarakat. Dia mengamati banyak pesan yang tidak sampai ke masyarakat bawah karena tidak komunikatif dan tidak tegas.
Baca Juga: Baca Juga: Benteng Makasar, Kenangan Sepetak Pecinan Tangerang di Zaman VOC
“Satu lagi hal yang menjadi pertanyaan saya, kenapa pakai bahasa Inggris? Social Distancing, Lockdown?” ujarnya. “Itu mengulang seperti zaman kolonial Hindia Belanda. Banyak orang tidak bisa baca pada zaman dahulu, kalau sekarang tidak semua orang paham bahasa inggris.”
Isolasi atau karantina kota pertama di Hindia Belanda
Burgerlijk Geneeskundige Dienst (BGD) merupakan dinas yang paling berwenang menentukan kebijakan isolasi atau karantina kota terkait pagebluk. Kebijakan isolasi memiliki landasan hukumnya, yang sudah ada sejak akhir 1800-an. terutama karantina orang-orang yang masuk ke Hindia Belanda. Namun demikian, seperti kebijakan karantina ketika COVID-19 berjangkit di Indonesia, secara umum pemerintah Hindia Belanda pun menyikapinya dengan angin-anginan—tidak menjalankan dengan baik.
Pada awalnya, keputusan isolasi Malang menuai perdebatan antardokter di Hindia Belanda. Namun, pada akhirnya keputusan itu tetap dilaksanakan. Sepanjang 1911-1912, Malang tertutup untuk semua. Warga yang menghuninya tidak bisa keluar, sementara warga dari luar pun tidak bisa memasuki Malang.
Ketika Malang diisolasi, masyarakat tetap mencari kebutuhan pokok sendiri. Pemerintah kolonial Hindia Belanda memberikan uang juga kepada mereka yang dipindah ke barak-barak. Namun, kebijakan tidak berjalan mudah karena uang yang diberikan tidak mencukupi kebutuhan. Masyarakat yang tinggal di barak-barak pun kembali untuk mencari hasil kebunnya mereka.
Sebuah kampung yang terjangkit penyakit pes, warganya akan dipindahkan ke barak khusus. Bangunan kayu dan gedek yang berada di tengah tanah lapang. Barak ini menampung belasan hingga puluhan rumah, yang dikelilingi pagar kawat berduri dengan penjagaan militer. Penghuninya tidak bisa bebas keluar.
Syefri menyampaikan data bahwa kebijakan isolasi sepanjang 1911-1912 dapat menekan jumlah korban. Dalam catatannya, korban jiwa setiap tahunnya 2.000-an jiwa. Menurutnya BGD keras dan tegas dalam kebijakan isolasi. Setiap perbatasan dijaga oleh militer. “Kalau mereka menerobos, tembak mati,” ujarnya.
Kebijakan ini menuai protes dari para pemilik pabrik gula, perkebunan tebu, tembakau, dan kopi. Mereka meminta kebijakan isolasi itu segera disudahi. Pasalnya, kuli-kuli yang menjadi pekerja perkebunan tebu dan pabrik gula di sekitar Malang tidak bisa bekerja.
Anehnya, BGD menyetujui permintaan mereka untuk membuka isolasi kendati pes masih mewabah. Akibatnya, pada 1913, korban pagebluk meningkat lima kali lipat—mencapai 11.384 jiwa. Pun, pada 1914 korbannya sampai 15.751 jiwa! “Efeknya sangat parah,” kata Syefri. “Namun saya yakin jumlah korban tersebut direduksi oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda karena mereka malu.”
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR