Kehadiran Dokter Tjipto dan Bangkitnya Ideologi Baru
Dokter-dokter Eropa tidak mau datang ke Malang. Akhirnya dokter-dokter bumi putra yang merawat pasien, meski tanpa alat pelindung diri. Kendati demikian, kebutuhan dokter masih jauh di bawah cukup.
Solusinya, pemerintah meminta mahasiswa-mahasiwa STOVIA semester akhir untuk merawat korban pes. Syefri menambahkan, “Kalau ikut datang memberantas pes di Malang, mereka dianggap lulus ngga perlu bikin tesis.”
Saat krisis tenaga medis itulah muncul Dokter Tjipto Mangoenkoesoemo (1886-1943). Dia seorang lulusan STOVIA dan kelahiran Japara, yang dengan kesadaran sendiri turun tangan ke Malang pada April 1911.
Tjipto menjelajahi penjuru Malang untuk berjumpa dengan para penderita pes. Karena minimnya alat pelindung diri (APD) untuk tenaga medis, dia pun tak menggunakan masker atau sarung tangan saat mendiagnosis pasiennya.
Sejarah tampaknya berulang.
“Kalau konteks sekarang banyak dokter berteriak soal alat perlindungan diri untuk penanganan COVID-19,” ungkap Syefri, “Nah, dokter-dokter bumiputra saat merawat korban pes juga banyak yang berteriak. Mereka tidak dapat APD. Kalaupun ada, jumlahnya sedikit.”
Baca Juga: Seberapa Banyak Jalan Ki Hajar Dewantara di Indonesia?
Di salah satu desa yang penduduknya habis, Tjipto menemukan bayi perempuan yang bersanding dengan jenazah kedua orang tuanya. Ajaibnya, bayi itu masih hidup tanpa terkena penyakit pes. Lalu, Tjipto mengadopsi bayi perempuan itu sebagai anaknya.
“Namanya Pesjati," kata Syefri. "Itulah yang membuat Tjipto menjadi legenda.”
Atas jasanya dalam memberantas pes di Malang, pada Agustus 1912, Tjipto menerima penghargaan. Dia patut berbangga menerima anugerah bintang “Orde van Oranje Nassau” dari pemerintah Hindia Belanda.
Semenjak kepindahannya ke Bandung, Tjipto menjadi jurnalis harian de Express dan majalah het Tijdschrijft. Dia berjumpa kembali dengan Douwes Dekker dan RM Soerjadi Soerjaningrat. Petualangan politiknya bermula ketika mereka menyuarakan bahwa perayaan seabad kemerdekaan Belanda adalah suatu penghinaan bagi bumi putra. Tjipto menulis untuk memboikot perayaan itu. Pertengahan 1913 ketiganya ditahan. Kemudian, karena dianggap mempropagandakan anti-pemerintah, mereka diasingkan ke Belanda.
Pada Januari 1914, dalam pengasingannya di Den Haag, dia berkesempatan memaparkan pengalaman dan penelitiannya tentang penyakit pes berikut dengan cara pemberantasannya selama misi medisnya di Malang. Tajuk tulisannya, De Pest op Java en Hare Bestrijding.
Dokter Jawa itu mengemukakan bagaimana nasib para penderita pes. Mereka harus menderita karena penyakit sekaligus pengucilan masyarakat. Syefri mengutip pemaparan Tjipto bahwa penderita pes “tidak boleh masuk ke dalam rumah dan oleh sebab itu ia pergi merebahkan dirinya di bawah sebatang pohon untuk menunggu ajalnya.”
Bakteri pembawa penyakit pes tampaknya telah berkembang dan beradaptasi. Ia tidak hanya bertahan di daerah dingin, tetapi juga di daerah pesisir yang panas. Syefri menambahkan bahwa pada zaman kolonial terdapat tiga fase wabah pes di Jawa. Fase pertama, 1910-1916 di Jawa Timur. Fase kedua, 1919-1928 di Jawa Tengah. Fase ketiga, 1930-1939 di Jawa Barat.
Pada 1915, terjadi wabah pes merambah Surakarta, kampung halaman Tjipto. Dia meminta izin untuk turut membantu memberantasnya. Namun, pada kenyataannya, pemerintah Hindia Belanda tidak memberinya izin. “Ya, karena dia bikin tulisan yang banyak menyerang pemerintah kolonial,” kata Syefri.
Tjipto marah karena permohonannya tidak dikabulkan, dia mengembalikan bintang penghargaan itu ke pemerintah. Namun, “selama jalan kaki menuju di kantor, dia menaruh bintang itu di pantat,” ujarnya. “Jadi siapa pun yang melihat pantatnya, akan menghormat.”
Pagebluk pes juga telah membangkitkan gerakan politik baru di Jawa. Setelah Tjipto melayangkan protes kepada pemerintah, banyak dokter memprotes terkait kematian dokter-dokter lain karena tidak tersedianya alat pelindung diri.
Dan tanpa sadar, aktivitas itu sebagai bentuk latihan para dokter untuk menulis di surat kabar. Hampir semua pemikir awal itu adalah para dokter karena bersentuhan langsung dengan rakyat. Akhirnya, banyak juga dokter yang tidak lulus karena sibuk berpolitik. “Bangkitnya nasionalisme kita setelah wabah pes,” kata Syefri, “Ketika dokter-dokter banyak bersuara dan dokter-dokter menulis.”
Selain membangkitkan nasionalisme para dokter, wabah pes membangkitkan semangat memberontak. Salah satu tokoh yang kontra dengan cara pemerintah kolonial memberantas penyakit ini adalah Haji Misbach, tokoh pemikir kiri asal Surakarta. Dia membawa konsep perlawanan kepada pemerintah kolonial ke forum-forum, sehingga simpatisannya pun banyak.
Demi memerangi tikus-tikus pembawa pes, pemerintah Hindia Belanda memiliki De Kampong Verbettering dengan program 1,5 juta rumah layak huni untuk masyarakat miskin. Seperti kasus di Malang dan Surakarta, rumah-rumah warga yang terbuat dari kayu dan gedek dibongkar dan dibakar. Pemiliknya digiring untuk menghuni barak, sementara rumah bantuan pemerintah sedang dibangun. Selain banyak kasus harta yang hilang saat pembongkaran, rakyat juga dibebani biaya cicilan rumah.
“Dengan gaji yang cuma 20 sen perhari,” ungkapnya, “mereka harus berhutang sampai 50-100 gulden, dan dikenakan bunga juga.”
Haji Misbach, yang belakangan tokoh PKI, memprotes tentang cara pemerintah kolonial dalam program pemberantasan pes di rumah-rumah yang justru memberatkan rakyat. Protes itu disampaikannya dalam vergadering, ketika wabah pes berjangkit di Semarang.
“Cara gampang mencari massa, salah satunya dengan wabah penyakit,” ujar Syefri. “Kita bisa bermain retorika, orang akan banyak yang ikut.”
Apabila berkaca pada sejarah pagebluk, akankah muncul ideologi baru setelah COVID-19?
“Media sosial ini mengerikan buat saya,” kata Syefri. “Semua orang makin banyak yang bersuara.” Dia melihat ada kemiripan pola, setidaknya banyak orang mulai berani bersuara karena jatuhnya korban tidak hanya dari pasien, tetapi juga tenaga medis. “Mungkin itu bisa membentuk gerakan baru nantinya di era milenial ini,” ungkapnya. “Entah ada suatu gerakan baru atau ideologi baru.”
Pagebluk dan Kelahiran Kotapraja Malang
Sejak 1812, Malang hanyalah ibu kota kabupaten yang berada di bawah Karesidenan Pasuruan. Tujuh tahun kemudian, kota kecil ini diresmikan sebagai bagian Karesidenan Pasuruan. Sejak akhir abad ke-19, banyak investasi perkebunan di sekitar Malang. Jalur kereta Surabaya-Malang diresmikan. Sebelum pergantian abad, Malang-Blitar- Kediri pun telah terhubung jalan raya.
Pemerintah Hindia Belanda sudah merencanakan pembangunan beberapa kotapraja sejak 1905, salah satunya Malang. Bahkan, Gubernur Alexander Willem Frederik Idenburg, sebelum 1914 telah menyempatkan singgah di kawasan sejuk yang dikelilingi gunung-gunung ini.
Karena pagebluk yang berjangkit sejak 1911, pers dan para pemilik usaha perkebunan menekan pemerintah kolonial untuk mempercepat proses pembentukan Kotapraja Malang. Alasannya, demi percepatan koordinasi dalam program pemberantasan pes.
Status kotapraja memang terbukti membuat jalur koordinasi antarlembaga pemerintah kota lebih efisien. Sinergi Kotapraja, Dinas Kesehatan Masyarakat (BGD), dan Dinas Pemberantasan Pes (Dienst der Pestbestrijding) telah mempercepat pemberantasan pes di Malang. Kendati sepanjang 1914-1915 jumlah korbannya lebih dari 31.000 jiwa—yang tercatat, pada tahun berikutnya korban menurun menjadi 595 jiwa. Demikianlah, kotapraja cantik ini menyimpan riwayat luka pagebluk pada pondasi kotanya.
Kita tidak pernah benar-benar belajar dari pagebluk
Sisco mencoba mengamati kembali lingkungan kota kelahirannya. Dia tidak menemukan satupun penanda kota yang berkait tentang pagebluk hebat di masa silam Malang. Tampaknya kita lebih mengingat tentang bencana gempa bumi, tsunami atau erupsi gunung api. Entah itu lewat dongeng, legenda, atau bekas bangunan tertentu yang bisa dilihat dengan mata, demikian hematnya.
Pagebluk yang mendera leluhur kita pada masa silam tampaknya nyaris tak bersisa di memori kita. Bahkan, menurutnya, istilah pagebluk tidak pernah dijelaskan secara terperinci dalam bangunan kesadaran kultural alam bawah sadar kita.
“Akibatnya ketika wabah datang,” kata Sisco, “tak banyak hal efektif yang bisa diperbuat.” Dia pun membandingkan, masyarakat lebih sigap dalam mitigasi saat gempa atau letusan gunung berapi. “Ketiadaan infrastruktur memori kolektif akan wabah menandakan sebuah ketidak-siapsiagaan sebuah masyarakat.”
Untuk membangun memori bersama tentang pagebluk, demikian ungkap Sisco, catatan saja tampaknya tidak cukup. Menurutnya, perlu sebuah tengara sebagai manifestasi pagebluk dalam bentuk monumen fisik. Sebuah pesan penting harus tersirat di balik simbol bahwa bahaya pagebluk bisa mengancam sewaktu-waktu di masa depan. “Namun sampai hari ini,” ungkapnya, “di daerah Indonesia mana yang ada monumen tuk mengingat pernah ada pagebluk?”
Kotanya memiliki banyak monumen yang bertema militer, namun tidak ada yang menampilkan monumen bertema insani. Sisco lalu teringat sosok dokter Tjipto Mangoenkoesoemo yang nekat mengobati pasien tanpa alat pelindung diri sembari memberantas penyakit pes ketika pagebluk besar terjadi.
Kendati warga kota itu telah mengganti Wilhelminastraat dengan Jalan Cipto Mangunkusumo, tampaknya memori bersama itu tidak lengkap tanpa tengara kota. “Daku membayangkan patungnya kelak di Malang sambil menyelamatkan dan menggendong balita Pesjati yang menangis,” kata Sisco. “Indah sekaligus menyentuh pastinya.”
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR