Ketabahan Permaisuri Nagako, Lalui Trauma Terbesar Kekaisaran Jepang

By Sysilia Tanhati, Rabu, 24 Mei 2023 | 13:33 WIB
Permaisuri Nagako adalah istri dari Kaisar Hirohito. Menjadi pasangan dewa yang hidup di Kekaisaran Jepang bukanlah tugas yang mudah, terutama di masa perang. Dengan berani dan tabah, ia berhasil melalui trauma terbesar bagi bangsa Jepang. (Imperial Household Agency)

Namun setelah hampir 10 tahun menikah, pasangan itu belum dikarunia seorang putra. Padahal Nagako telah melahirkan empat anak perempuan—salah satunya meninggal saat masih bayi.

Di luar gerbang istana, kekaisaran menjadi semakin tidak stabil. Di kalangan militer, ada pembicaraan untuk menggulingkan Hirohito dan menggantikannya dengan saudara laki-lakinya yang memiliki banyak putra.

Para staf kekaisaran menekan kaisar untuk membawa kembali para selir. Hirohito tetap tidak tergerak. Pada tahun 1933, Nagako mengandung lagi dan melahirkan calon Kaisar Akihito. Ada perayaan meriah di seluruh Kekaisaran Jepang untuk menyambut kelahiran sang putra mahkota. Putra kedua pun menyusul setelah itu.

Selama Perang Dunia kedua, Nagako berperan sebagai ibu yang berbakti kepada rakyatnya. Terkurung di istana kekaisaran, dia menghabiskan waktunya menggulung perban dan merajut syal untuk para jenderal. Sang permaisuri bahkan menulis surat belasungkawa pribadi kepada keluarga yang ditinggalkan.

Sebagai dewa yang hidup di Kekaisaran Jepang, Kaisar Hirohito memiliki kekuatan yang relatif kecil. Bahkan keputusan sehari-hari dibuat oleh pejabat kekaisaran yang suka memerintah.

Ketika Akihito berusia 3 tahun, dia diambil dari orang tuanya. Ia dibesarkan oleh pengasuh yang memperlakukannya dengan lebih hormat daripada kehangatan. Putranya tampaknya memiliki masa kecil yang sangat kesepian. Tapi Nagako tidak pernah mengeluh di depan umum tentang perpisahan itu.

Dengan berakhirnya perang, rumah Kekaisaran Jepang memasuki abad ke-20. Di bawah perintah pasukan pendudukan Amerika, Hirohito mengumumkan bahwa dia tidak lagi dianggap sebagai dewa.

Kekaisaran Jepang mengalami perubahan setelah perang dan sang permaisuri harus beradaptasi. Seorang pengajar Amerika datang untuk mengajar Putra Mahkota Akihito dan Nagako sendiri mengambil pelajaran bahasa Inggris.

Nagako pernah menggambarkan tahun-tahun perang sebagai “masa tersulit dalam hidupnya”. Setelah perang, ada ketidakpastian apakah Amerika akan mengeksekusi Hirohito atau setidaknya memaksanya untuk turun takhta. Tetapi Amerika Serikat memutuskan untuk menyalahkan perang pada para pemimpin lain, seperti Perdana Menteri Hideki Tojo.

Hirohito diizinkan untuk tetap menjadi kaisar selama dia menyerahkan keilahiannya.

Bagi Kekaisaran Jepang dan rakyatnya, perang menjadi salah satu trauma terbesar.

Berlainan dengan tradisi lama, Akihito memilih menikah dengan orang biasa, Michiko Shoda. Ia adalah putri seorang industrialis terkemuka. Pilihannya itu membuat rakyat Jepang terpesona. Sayangnya Nagako tidak setuju akan pilihan sang putra.