Monster dan Tangisan Di Balik Lonceng-Lonceng Kekaisaran Korea

By Cicilia Nony Ayuningsih Bratajaya, Senin, 22 Mei 2023 | 15:00 WIB
Lonceng Bosingak di pusat kota Seoul, Korea Selatan. Salah satu lonceng yang menyimpan kisah legenda zaman Kekaisaran Korea. (Wikimedia Commons)

Seperti lonceng Cina, ada empat panel dekoratif persegi (yugwak) di dekat bagian atas, masing-masing dengan sembilan kenop (ju) diatur dalam tiga baris tiga. Namun bedanya, lonceng dinasti Silla memiliki pasangan bidadari terbang yang diukir dengan relief—makhluk surgawi wanita yang menghadiri Buddha—dan desain yang jauh lebih rumit.

Paling sering ditemui bentuk naga berukir rumit dan tiang berlubang pendek yang mungkin berfungsi sebagai tabung suara. Oleh karena itu, rakitan naga dan lingkaran pada mahkota (wu) lonceng Korea merupakan kombinasi unik dari lonceng gantung Kekaisaran Tiongkok.

Lonceng tertua yang masih bertahan berasal dari kuil Sangwonsa di Gunung Odaesan dekat Pyeongchang. Lonceng ini berasal dari tahun 725. Lonceng setinggi 1,67 meter memiliki  dekorasi seruling dan dua pemain harpa yang indah dihiasi medali teratai dan dikelilingi teratai.

Lonceng Silla terbesar berasal dari Bongdeoksa, juga dikenal sebagai Lonceng Emille, yang dipasang pada tahun 771 untuk menghormati Raja Seongdeok (memerintah 702-737).

Sebuah prasasti lonceng memberi tahu kita tentang proses panjang yang diperlukan untuk membuat lonceng raksasa tersebut. Disebutkan bahwa proyek tersebut dimulai oleh putra Seongdeok, Raja Gyeongdeok, namun ia meninggal pada tahun 765 ketika masih belum siap sehingga putranya Hyegong ditinggalkan untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut.

Menurut sebuah legenda pada abad ke-13, Samguk yusa, seorang pria yang bertanggung jawab untuk membuat lonceng. Pria itu sangat terbeban untuk membuat lonceng itu sehingga dia terdorong untuk melemparkan putrinya sendiri ke dalam perunggu cair dengan harapan pengorbanannya akan memungkinkan lonceng tersebut dapat selesai dibuat.

Bunyi lonceng dianggap menggemakan tangisan putus asa gadis itu saat dia dilempar ke dalam perunggu. Oleh karena itu lonceng itu dinamakan emille yang artinya ‘ibu’.

Mark Cartwright mengatakan “Para ahli melakukan pemeriksaan dengan cermat terhadap permukaan lonceng, terungkap bahwa cetakan itu terbuat dari beberapa bagian yang berbeda dan ada sepuluh lubang di mahkotanya.

Tingginya sekitar 3,5 meter dan diameter 2,27 meter, dihiasi dengan bunga teratai dan makhluk surgawi dengan lingkaran klasik dinasti Silla berbentuk naga.” Lonceng Emille dengan berat 19 ton dianggap sebagai salah satu harta nasional Korea.  Lonceng tersebut kini dipajang di Museum Nasional Gyeongju.

Lonceng Dinasti Goryeo

Lonceng Dinasti Goryeo Kekaisaran Korea (918 – 1392) memiliki ukuran yang lebih kecil dibanding lonceng Dinasti Silla yang memiliki ukuran raksasa. Namun tingginya masih bisa mencapai 1,7 meter dan sama-sama terbuat dari perunggu.

Sejumlah 17 dari 70 lonceng dari periode ini masih bertahan. Tanggal pembuatan yang paling awal adalah di tahun 963. Lonceng era dinasti Goryeo yang paling menonjol adalah lonceng setinggi 1,7 meter yang sekarang ada di Museum Seni Rupa Istana Toksu di Seoul. 

Pada masa dinasti Goryeo Kekaisaran Korea, kalangan penduduk petani setempat sering kali dipaksa oleh biara dan kuil untuk 'menyumbangkan' barang perunggu mereka agar dapat dilebur dan diubah menjadi lonceng.

Hal ini mungkin asal muasal monster Bulgasari dari cerita rakyat Korea. Namanya berarti 'Penghuni Kuil Budha' dan dia dianggap hidup dari perunggu dan besi yang dilelehkan dengan tubuhnya yang membara. Dia sangat menyukai jarum dan berjanji untuk mengusir monster lain jika nafsu makannya terpuaskan.