Hara-kiri, Ritual Bunuh Diri Samurai Kekaisaran Jepang demi Kehormatan

By Sysilia Tanhati, Minggu, 21 Mei 2023 | 13:00 WIB
Demi kehormatan, samurai Kekaisaran Jepang melakukan hara-kiri. Orang Jepang melihat hara-kiri sebagai ujian kehormatan dan ketenangan serta cara untuk menebus diri secara puitis. (The Rev. R. B. Peery)

Ia kemudian akan membuka kerah kimononya untuk memperlihatkan perutnya sambil menggenggam tanto pada bilahnya. Sang samurai kemudian menusukkannya ke perutnya dengan ujung ke atas.

Bagaimana hara-kiri berlangsung pada titik ini bergantung pada ketabahan samurai yang bersangkutan. Dia harus menanggung penderitaan selama mungkin tanpa merusak ketenangan.

Ketika penderitaan menjadi tak tertahankan, kaishakunin akan memotong leher hingga hampir memenggal kepala samurai itu. Kata hampir menunjukkan kontrol luka dan mencegah kepala yang terpenggal menumpahkan darah ke tanah.

“Dalam kepercayaan Shinto, setiap bagian tanah yang tersentuh darah atau mayat dianggap najis,” Smathers menambahkan lagi.

Jika pemenggalan kepala tidak terjadi setelah tusukan pertama, samurai akan menarik tanto melewati perutnya. Ia kemudian membuat potongan vertikal kedua hingga ke jantung.

Ditunjuk sebagai kaishakunin dianggap sebagai tanggung jawab yang serius. Kegagalan untuk melakukannya dengan benar merupakan hal yang memalukan.

Bahkan dalam beberapa kasus dapat menyebabkan kaishakunin sendiri diperintahkan untuk melakukan seppuku.

Sejarah Hara-kiri di Kekaisaran Jepang

Ritual hara-kiri berasal dari Periode Heian di Kekaisaran Jepang. Contoh pertama yang diketahui adalah setelah Pertempuran Uji tahun 1180, ketika Minamoto Yorimasa mengakhiri hidupnya untuk menghindari siksaan di tangan musuh-musuhnya. Kebanyakan samurai yang dikalahkan, jika mereka tidak langsung dibunuh, akan menempuh jalan ini.

Perut menjadi sasaran karena jiwa diyakini bersemayam di hara atau perut. Menusuk perut dianggap sebagai cara tercepat untuk melepaskan jiwa agar bisa bereinkarnasi menjadi tubuh baru. (Tsukioka Yoshitoshi)

Seppuku dalam hal ini dianggap sebagai rahmat dalam konteks medan perang. Itu kesempatan bagi samurai Kekaisaran Jepang untuk mati dengan cara mereka sendiri jika pertempuran tidak menguntungkan mereka.

Belakangan, kasta samurai menjadi lebih besar dan lebih terlibat dalam pemerintahan. Samurai diharapkan untuk bertindak sesuai dengan bushido di luar medan pertempuran.