Singkap Sejarah 'Dukuh Sodom' di Dieng yang Hilang dalam Semalam

By Galih Pranata, Rabu, 31 Mei 2023 | 09:00 WIB
Potret udara sebuah tugu di Dukuh Legetang, Dieng, Banjarnegara, untuk mengenang sejarah kelam, tragedi longsornya Gunung Pengamun-Amun yang mengubur lebih dari 351 penduduk pada 17 April 1955. (dedygold/Shutterstock)

Nationalgeographic.co.id—Kisah sejarah terkadang menyingkap banyak ceritera yang tak terduga-duga. Sejatinya, sejarah mengajak dan mengajarkan kita untuk belajar dari peristiwa-peristiwa itu.

Salah satu wacana sejarah yang dapat diambil pelajarannya adalah tentang hilangnya Dukuh 'Sodom' Legetang di Dieng hanya dalam waktu semalam! Suatu narasi yang mungkin jadi ironi sepanjang sejarah.

Begitulah memori kolektif yang melekat di masyarakat tatkala menyebut Dukuh Legetang sebagai 'Dukuh Sodom'. Kisah ironinya berbuntut pada kepercayaan rakyat Dieng tentang adanya azab yang menimpa rakyat Legetang yang kerap menyimpang, bak kaum Sodom

Barangkali, "Legetang adalah narasi tentang bencana yang tidak biasa," tulis Anton Hendrawan, salah satu penulis yang terlibat dalam buku Bawana Winasis Dieng: Budaya Tak Terkatakan, terbitan 2021.

Secara geografis, Dukuh Legetang sama halnya dengan dukuh di desa-desa lain di dataran tinggi Dieng, memiliki kondisi tanah yang subur. "Masyarakat menggantungkan kehidupan pada perkebunan," imbuhnya.

Kesuburan tanah di Dukuh Legetang ini konon melebihi kesuburan tanah-tanah lain di kawasan sekitarnya. Nahas, segala keindahan lansekap itu berubah tatkala pada 17 April 1955, bencana mengerikan menimpa mereka.

Malam itu, tatkala Dukuh Legetang diguyur hujan lebat, sekira pukul 23.00 WIB tiba-tiba terdengar suara gemuruh seperti benda besar jatuh. Suara ini terdengar sampai ke desa-desa sekitarnya.

Lantas, bunyi gemuruh itu menarik perhatian meski hujan lebat dan gelap. Sayangnya, tak ada warga yang berani mendekat untuk mengidentifikasi gemuruh yang menerpa Legetang. Ketika terang pagi menjelang, dukuh itu dilaporkan menghilang!

Dukuh malang itu hilang seketika, rata dengan tanah, tertimbun tanah longsor yang diduga berasal dari Gunung Pengamun-amun di dekatnya. Gunung itu rompal seakan hilang sebagian.

Permukaan dukuh bukan saja tertimpa, tapi berubah menjadi sebuah bukit yang mengubur seluruh dukuh beserta warganya. Dukuh Legetang yang semula berupa lembah, kini tak ubahnya sebuah gundukan tanah yang menyerupai bukit.

Bencana mengerikan ini diperkirakan telah mengubur 351 warga yang ada di Dukuh Legetang. Hanya menyisakan satu orang, dan cerita tentang orang yang selamat ini pun masih simpang siur.

Menariknya, di balik kemalangan yang menimpa dukuh ini, narasi berbau misteri berbalut keagamaan menyelimuti kisahnya. Dukuh Legetang, Desa Pekasiran, Kecamatan Batur, Dieng Kulon, diisukan terkena azab akibat tindak rakyatnya yang menyimpang.

"Narasi tentang bencana Legetang dikaitkan dengan azab kemaksiatan di Legetang. Walaupun kebenarannya tidak diyakini, masyarakat sekitar mendengar cerita gethak tular (dari mulut ke mulut)," lanjut Anton.

Budaya tentang homoseksual, prostitusi, dan perjudian adalah berita yang marak diisukan terjadi di Legetang, bak kaum sodom. Bahkan, tersebar cerita bahwa langgar atau mushala dukuh sudah digunakan untuk hal menyimpang, dipakai sebagai tempat judi.

"Banyak masyarakat dataran tinggi Dieng meyakini bahwa cerita inilah yang benar," tegas Anton. Kisahnya dikaitkan seperti dalam cerita Sodom dan Gomorah di Alkitab atau Al Qur’an.

Tragedi itu mirip dengan sejarah kota Pompeii yang hancur oleh Gunung Vesuvius. Kisahnya juga kerap disandingkan dengan narasi longsornya Gunung Pengamun-amun di Dieng.

Sebuah tugu yang berdiri kokoh menjulang menjadi saksi bisu sejarah terkuburnya ratusan warga yang disebut-sebut penghuni dukuh sodom di bawah tanah perbukitan Legetang. (©Kemendikbud.2020/Anton H.)

Taufiqurrohim menguatkan kisah hilangnya Dukuh Legetang dalam Journal of Islamic Civilization berjudul Islamic Youth Participation in The Emergence of Local Ritual: Encountering The Spirit of Islam in The Local Tradition terbitan 2020.

Menurutnya, terdapat beberapa perilaku menyimpang yang dilarang dalam perspektif agama (Islam) seperti marak perjudian, penyimpangan seksual (homoseksual) dan kurangnya praktik keagamaan di sana.

"Setiap malam, mereka mengadakan tarian erotis dan diakhiri dengan orientasi seksual menyimpang di antara mereka, dan pada malam bencana, mereka melakukan kegiatan yang dilarang itu," sebut Taufiqurrohim dalam jurnalnya.

Kebanyakan orang di sana memercayai dan meyakini bahwa dukuh itu terkutuk. Sebab, antara Dukuh Legetang dan Gunung Pengamun-amun terdapat jurang dan sungai yang cukup dalam.

Namun, pada kenyataannya longsoran yang dikirim dari gunung itu seakan melompati sungai dan langsung menjatuhi Legetang. Inilah yang memperkuat narasi azab yang menimbun dan menghilangkan 'Dukuh Sodom', Legetang dalam semalam.

Banyak kesaksian yang menyebut bahwa di antara kaki gunung sampai ke perbatasan kawasan pemukiman di Legetang, sama sekali tidak tertimbun longsoran, padahal jaraknya beberapa ratus meter.

Dengan demikian, bencana ini terkait dengan sikap warga Legetang sebagai hukuman bagi mereka secara konsekuen. Setidaknya, sejarah telah menjadi ajang pembelajaran bagi warga di kawasan Pekasiran yang memiliki trauma masa lalu akibat bencana tersebut.

Sebagai pengingat guna memperingati sejarah kelam itu, pemerintah setempat mendirikan sebuah tugu yang hari ini masih bisa dilihat. Di tugu tersebut ditulis dengan plat logam bertuliskan:

Tugu peringatan atas tewasnja 332 orang penduduk Dukuh Legetang. Serta 19 orang tamu dari lain-lain desa. Sebagai akibat longsornja Gunung Pengamun-amun pada tg. 16/17-4-1955.

Keyakinan agama menguat seiring munculnya ingatan kelam yang menyerang kondisi psikologis masyarakatnya. Alhasil, peristiwa hilangnya Dukuh Legetang dalam waktu semalam ini menjadi hikmah bagi sejarah kelam dan memori kolektif rakyatnya.