Kotengu, roh yokai yang lebih tua, memiliki karakter yang lebih kebinatangan. Ia juga disebut sebagai ‘Karasutengu’, dengan ‘karasu’ yang berarti gagak.
Meskipun demikian, terlepas dari namanya, kotengu biasanya digambarkan seperti elang layang-layang hitam Jepang, alih-alih menyerupai gagak.
Yordan menjelaskan, perilaku Kotengu juga sangat mirip dengan burung pemangsa, “mereka dikatakan menyerang orang di malam hari dan sering menculik pendeta atau anak-anak.”
Namun, seperti kebanyakan roh yokai, semua roh Tengu, termasuk Kotengu memiliki kemampuan untuk berubah bentuk.
Kotengu menghabiskan sebagian besar waktu mereka dalam bentuk aslinya. Namun, terdapat mitos tentang mereka yang berubah menjadi manusia, bisikan, atau memainkan musik dan suara-suara aneh untuk mencoba membingungkan mangsanya.
Salah satu mitos awal menceritakan tentang Tengu yang berubah menjadi Buddha di depan seorang pendeta Buddha di hutan. “Tengu/Buddha tersebut duduk di atas pohon, dikelilingi oleh cahaya terang dan bunga-bunga yang beterbangan,” terang Yordan.
Namun, sang pendeta yang cerdik menyadari bahwa itu adalah tipuan, dan alih-alih mendekati yokai tersebut, “ia hanya duduk dan menatapnya.”
Setelah sekitar satu jam, kekuatan Kotengu layu dan roh tersebut berubah bentuk menjadi bentuk aslinya, “seekor burung kestrel kecil. Burung itu jatuh ke tanah, mematahkan sayapnya.”
Menyimak kisah tersebut, boleh jadi Kotengu awal tidaklah terlalu cerdas. Seiring berkembangnya budaya Jepang selama berabad-abad, Kotengu tetap menjadi bagian dari cerita rakyat, tetapi jenis Tengu kedua lahir: Diatengu.
Diatengu, si Cerdas
“Ketika kebanyakan orang berbicara tentang Tengu yokai saat ini, mereka biasanya berarti Diatengu,” jelas Yordan.