Nationalgeographic.co.id—“Tidak dapat diasumsikan bahwa seorang penyandang disabilitas Yunani Kuno diperlakuan oleh masyarakat dengan cara sama yang kita lakukan saat ini,” kata Robert Garland, seorang Profesor Klasik di Universitas Colgate.
Menurutnya, kehidupan para penyandang disabilitas dalam sejarah Yunani Kuno sangatlah menyedihkan. Lantas pertanyaannya adalah, bagaimana mereka yang berhasil bertahan hidup menjalani kehidupan mereka?
Penyandang Disabilitas dalam Sejarah Yunani Kuno
Agaknya tidak ada simpati khusus dari masyarakat Yunani Kuno untuk para penyandang disabilitas. Namun, katakanlah jika seseorang buta, mereka akan diberitahu bahwa mereka dikaruniai kemampuan lebih, seperti Tiresias atau Homer.
“Meskipun tidak banyak yang diketahui tentang kondisi fisik orang Yunani kuno, sebagian besar dari mereka menderita kebutaan dan ketulian yang tidak dapat diatasi dengan alat bantu dengar dan lensa korektif,” jelas Robert.
Jika seseorang mengalami kebutaan sebagian, ia hanya akan meraba-raba dunia. Ia akan menghabiskan hari-hari mereka dalam keheningan yang gelap.
Kemudian, Robert menjabarkan, ada budak-budak yang menjadi lumpuh. Akan tetapi tidak banyak yang terdengar mengenai nasib mereka, “namun kita juga harus memikirkan mereka.”
Sangat jelas bahwa mereka akan sangat bergantung pada kebaikan hati para majikan atau nyonya mereka. Boleh jadi, beberapa majikan akan mencampakan seorang budak yang menyandang disabilitas.
Dalam sejarah Yunani kuno, seorang budak yang menderita disabilitas akan menjadi beban ekonomi bagi rumah tangga, karena sumber daya yang ada pada saat itu sangat terbatas.
Beberapa majikan akan membenarkan tindakan mereka dengan mengatakan bahwa “lebih baik membiarkan budak-budak seperti itu mati.”
Ada kategori lain yang jarang sekali didengar, yaitu veteran perang. Robert menjelaskan, ada sedikit uang tunjangan veteran bagi warga Athena yang dapat membuktikan bahwa mereka disabilitas.
Meskipun demikian, “tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa mereka yang disabilitas secara massal diurus oleh negara,” terang Robert.
Kemungkinan para veteran perang Yunani Kuno yang menyandang disabilitas dihormati dengan cara yang berbeda. Misalnya, memberikan mereka tempat duduk khusus di teater Dionysus. “Tetapi tidak ada yang menunjukkan bahwa mereka diperlakukan sebagai kelompok khusus.
Anak Yunani Kuno Penyintas Disabilitas
Terakhir, kita sampai pada mereka yang terlahir dengan kondisi tidak sempurna. Karena kekurangan gizi dan penyakit. “Tidak diragukan lagi,” sebut Robert, “jumlah anak-anak Yunani Kuno yang baru lahir [dengan kondisi] disabilitas jauh lebih tinggi daripada yang terlihat di Barat saat ini.”
Jumlah mereka yang bertahan hidup hingga dewasa jauh lebih rendah daripada saat ini. Menurut sejarah Yunani kuno, Orang-orang percaya, bahwa tidak ada gunanya membesarkan seorang anak yang tidak dapat menjalani kehidupan secara mandiri.
Sebuah aturan hukum Romawi dari sekitar pertengahan abad ke-5 SM yang disebut 'Hukum Dua Belas Meja' memiliki pernyataan: "bunuhlah anak yang cacat dengan cepat".
Menurut Robert, ada kemungkinan besar bahwa ketentuan serupa juga berlaku untuk anak Yunani penyandang disabilitas. Sebuah hukum yang dikenal sebagai 'Mencegah Pembesaran Anak Disabilitas' direkomendasikan oleh Aristoteles untuk disahkan.
Perlu diketahui dalam sejarah Yunani kuno, bahwa anak-anak Sparta diperiksa oleh para tetua pada saat lahir dan jika ditemukan cacat, mereka akan ditinggalkan di hutan. “Mereka pasti akan dimakan oleh hewan dan burung.”
Hesiod, penyair epik yang hidup sekitar awal abad ke-7 SM, mencatat kepercayaan bahwa jika seorang anak terlahir cacat, itu menandakan kemarahan atau niat buruk dewa.
Ada kemungkinan besar bahwa jika seorang anak terlahir dalam kondisi disabilitas dan berhasil bertahan hidup, ia akan diperlakukan sebagai warga negara kelas dua.
Ia bahkan tidak akan diizinkan untuk memasuki bait suci, apalagi melayani sebagai pendeta atau pendeta wanita. Hanya orang yang sempurna secara fisik yang dapat melayani para dewa.
Ada juga bukti dalam sejarah Yunani kuno yang menunjukkan bahwa orang Yunani yang difabel secara fisik akan menjadi kambing hitam–disebut pharmakos–pada masa krisis. Ini berarti mereka diasingkan dari kota dan dikutuk secara ritual.
Bagaimana Para Disabilitas Bertahan
Lantas, bagaimana para penyandang disabilitas Yunani Kuno dapat bertahan hidup? Albert menerangkan, ada tiga alternatif. “Mereka dapat melakukan tugas-tugas tanpa harus memiliki tubuh yang sempurna.”
Seorang lumpuh dapat menjadi pandai besi, pembuat perhiasan, pelukis atau pembuat tembikar. Seorang buta dapat menjadi penyair, pemusik, atau peramal.
Atau bahkan mereka dapat mengambil keuntungan dari kelainan bentuk mereka dengan berpura-pura menjadi orang bodoh.
Penulis satir Romawi, Lucian, mengatakan bahwa orang lumpuh, kurcaci, dan wanita gemuk tampil sebagai penghibur di pesta-pesta minuman keras. Ada cukup banyak bukti yang mendukung hal ini.
Sisi negatifnya adalah mereka harus menghadapi banyak pelecehan, namun itu adalah sesuatu yang harus mereka hadapi. “Jadi tidak ada salahnya jika mereka dibayar cukup untuk mendapatkan penghidupan yang layak,” jelas Robert.
Opsi terakhirnya adalah dengan mengemis atau meminta welas dari kerabat. Namun tetap saja, kondisi mereka sangat rentan. Bahkan sekalipun mendapat perlindungan dari keluarga mereka, akan selalu ada orang yang membenci.
Bukan hanya karena penampilan fisik mereka, tetapi juga kekhawatiran bahwa mereka adalah bukti ketidaksukaan ilahi yang hidup di antara mereka.
Menurut Robert, kisah manusiawi tentang para penyandang disabilitas dalam sejarah Yunani kuno diperparah oleh pengabaian dalam setiap sejarah sosial.
“Dan bahkan agama pun tidak melakukan apa pun untuk meringankan penderitaan mereka. Sebaliknya, hal itu justru memperburuk keadaan mereka,” pungkas Robert.