Sejarah Singapura: Memulai Reklamasi Sejak Zaman Thomas Raffles

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Selasa, 30 Mei 2023 | 08:00 WIB
Collyer Quai adalah salah satu hasil reklamasi dalam sejarah Singapura era kolonialisme Inggris. Namanya diambil dari George Collyer, seorang insinyur kota yang begitu ambisius dalam reklamasi. (National Archives of Singapore)

Nationalgeographic.co.id—Sebagian dari daratan Singapura adalah hasil reklamasi, tanah rekayasa untuk mengubur bagian perairan. Sejak awal kemerdekannya di tahun 1965 hingga 2017, negeri kecil ini telah memperluas daratannya lebih dari 20 persen.

Alasan mengapa Singapura melakukan reklamasi adalah kebutuhan ruang baru seiring bertumbuhnya populasi. Sebetulnya, reklamasi dalam sejarah Singapura dilakukan sejak era kolonial, tepatnya ketika Inggris di bawah Thomas Raffles hadir pada 1819.

Koloni Inggris banyak bermukim di muara Sungai Singapura yang punya bentang alam berupa hutan dan rawa bakau. Kawasan itu pada hari ini berada di sekitar Patung Merlion dan teluk di dekatnya.

"Tidak butuh waktu lama bagi Inggris," tulis Lim Tin Seng, pustakawan National Library Singapore di halaman BiblioAsia. "Singapura secara resmi diklaim oleh Raffles sebagai koloni, dan hanya empat tahun kemudian, pulau ini menyaksikan transformasi topografi pertamanya."

Reklamasi yang pertama dilakukan dalam sejarah Singapura terjadi pada 1822 di selatan Sungai Singapura. Kawasan itu diratakan dengan melibatkan 300 kuli untuk menimbun perairan dan membangun tanggul di sepanjang sungai. Sebab, kawasan selatan ini rawan banjir. Tanahnya berasal dari bukit kecil yang kini sudah rata di Battery Road.

"Proses tersebut memakan waktu sekitar empat bulan dan memunculkan area berbentuk bulan sabit yang sekarang dikenal sebagai Boat Quay," jelas Lim. "Ini, bersama dengan apa yang tersisa dari bukit kecil, menjadi Lapangan Komersial – dan akhirnya, Raffles Place – jantung distrik komersial seperti yang dipetakan dalam rencana kota Singapura tahun 1822 oleh Raffles."

Sepanjang akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, Singapura dipenuhi reklamasi demi kepentingan bisnis. Tercatat oleh Lim, hingga puluhan kali Inggris melakukan reklamasi. Hal itu disebabkan melesatnya jumlah penduduk dan pedagang.

Salah satu yang unik dari sejarah Singapura dalam reklamasinya ada di Telok Ayer Bay. Tanah reklamasinya berasal dari perbukitan sekitar Tanjong Pagar menuju Telok Ayer. Insinyur kota George Collyer pun meledakkan perbukitan itu demi membuka akses Telok Ayer ke Tanjung Pagar, karena selama ini pergerakan perdagangan terhalangi.

Saking banyaknya proyek reklamasi yang dilakukan kolonial Inggris di Singapura, ongkos yang harus dibayar sangat tinggi. Salah satu yang paling mahal dalam sejarah Singapura untuk reklamasi adalah proyek seluas 88 hektare dengan tembok laut sepanjang 5.000 kaki yang membentang dari Johnston's Pier ke Tanjong Malang--kini Palmer Road.

Muara di Sungai Singapura sekitar tahun 1920. Muara ini mengalami berkali-kali reklamasi dalam sejarah Singapura demi bisa menopang pedagang dari berbagai negara. (KITLV)

Proyek ini terhalang ketika ada masalah pengerukan pada 1910, saat hampir jadi. Tembok lautnya tenggelam, sehingga pekerjaan dihentikan. Proyek pun harus memperkuat pondasi tembok laut agar bisa tahan hingga 10 tahun kedepan untuk pengerjaan. Pekerjaannya baru rampung pada 1932 dengan ongkos sekitar 15 juta dolar Strait (mata uang Inggris di Semenanjung Malaya).

Reklamasi terakhir yang dilakukan oleh Inggris adalah Kallang Basin dan Beach Road yang menghabiskan sembilan juta dolar Strait. Reklamasinya menutupi 339 hektare area rawa yang dikenal paling banyak nyamuknya.

Operasi pengisian rawa itu dimulai pada Mei 1932 dan baru selesai pada Oktober 1936. Di sinilah, Bandara Kallang berdiri dan dibuka pada tahun berikutnya oleh Gubernur Shenton Thomas.

30 tahun berlalu, Singapura pun merdeka. "Reklamasi Besar" yang pertama dalam sejarah Singapura langsung direncanakan. Mereka berencana menambah lahan seluas 1.525 hektare di sepanjang pesisir tenggara pulau. Proyeknya dimulai di lokasi East Coast Reclamation pada 1966 selama 30 tahun.

Total biaya proyek East Coast sebesar 613 dolar AS. Tanahnya diambil dari berbagai termasuk seperti Dataran Siglap dan perbukitan di Bedok dan Tampines. Datarannya dipotong oleh ekskavator untuk di bawa tongkang ke lokasi reklamasi.

"Lahan reklamasi sebagian besar digunakan untuk tujuan komersial dan perumahan. Di pantai timur, perumahan seperti Marine Parade dan Katong bermunculan, menyediakan akomodasi untuk sekitar 100.000 penduduk," ungkap Lim.

Tampang Singapura tahun 1984 dari satelit. Dalam sejarah Singapura, pesisir pulaunya telah direklamasi sejak kolonialisme Inggris. (Google Earth)

Potret Singapura dari satelit tahun 2020. Dalam sejarah Singapura, reklamasi kontemporernya membuat kepulauan kecilnya menyatu sebagai pulau besar. (Google Earth)

"Ujung lain dari tanah reklamasi di sekitar Marina Bay adalah untuk menyediakan ruang di masa mendatang untuk perluasan pusat kota. Hebatnya, ide inti pusat kota baru ini disusun beberapa dekade sebelum gedung pencakar langit pertama muncul di sini pada abad ke-21," lanjutnya.

Pesisir paling timur pulau Singapura tidak luput dari reklamasi. Pemerintah mengembangkan proyek untuk Bandara Changi pada tahun 1967. Setidaknya sepanjang 1972 hingga 1979, sekitar 61 hektare tepi pantai direklamasi untuk membuat proyek ini.

Pada periode 1990-an hingga awal 2000-an, reklamasi cenderung dimaksudkan untuk industri hiburan dan pariwisata. Di sinilah, dalam sejarah Singapura perlu untuk mengimpor pasir seperti  dari Indonesia, Malaysia, dan Kamboja.

 

Pulau Jurong adalah kawasan industri terbesar di Singapura. Pulau ini adalah hasil reklamasi yang menggabungkan pulau-pulau kecil. (William Cho/Flickr)

Reklamasi untuk sektor hiburan dan pariwisata lebih banyak dilakukan di kawasan barat pulau. Dalam proyek ini, pulau kecil dibesarkan dan beberapa pulau bersejarah disatukan menjadi kesatuan pulau besar seperti yang terjadi pada Pulau Tekong dan Pulau Tekong Kechil.

"Dapat dipastikan bahwa Singapura yang kekurangan lahan akan terus melakukan reklamasi untuk memenuhi permintaan populasinya yang terus bertambah di masa mendatang," Lim berpendapat. Singapura diperkirakan akan membutuhkan lahan tambahan seluas 5.600 hektare pada 2030 untuk menopang populasi harapan sebesar hampir tujuh juta.

Akan tetapi, impor pasir memiliki kekurangan seperti harganya yang meningkat dan dampaknya pada ekosistem. Oleh karena itu, Singapura harus memikirkan cara lain agar kawasannya bisa cukup untuk penduduk dan penggunannya.