Julia menegaskan kita perlu belajar dari Pakistan, atau lebih tepatnya, untuk menghindari jatuh ke dalam perangkap agama yang telah jatuh ke Pakistan. Hal senada juga pernah disampaikan oleh aktivis dan peneliti Human Right Watch, Andreas Harsono.
“Di Indonesia ada kecenderungan mengarah seperti Pakistanisasi,” ucap Andreas seperti dikutip dari website pribadinya.
Dalam kasus Pakistan, Andreas memaparkan, ada tiga kelompok yang disasar kelompok intoleran. Pertama adalah Ahmadiyah dan Syiah dan mazhab-mazhab lainnya dalam Islam. Kedua adalah kaum Kristen. Ketiga adalah para penganut agama tradisional.
Direktur Eksekutif IndoStrategi Andar Nubowo juga pernah mewanti-wanti hal yang sama. “Indonesia jangan sampai menjadi Indonistan,” kata Andar. Indonistan merupakan istilah yang cukup populer di media sosial sebagai bentuk sindiran pada niat kelompok intoleran yang ingin menyeragamkan Indonesia.
Lulusan EHESS Paris itu berharap pemerintah tidak membiarkan terus-menerus terjadinya persekusi terhadap minoritas di tanah air. Sebagaimana diketahui bersama, kelompok intoleran di Indonesia sempat gencar-gencarnya melakukan aksi-aksi kekerasan terhadap apa yang mereka anggap “sesat”.
Kemiripan adanya gejala yang sama antara Indonesia dan Pakistan, menurut Andreas bukan hal yang ia dan Andar sendiri khawatirkan. Andreas mengakui beberapa peneliti di Pakistan pun cemas dengan kondisi di Indonesia hari ini.
Percaya atau tidak, Pakistan tidak didirikan sebagai negara Islam dan pada awalnya mayoritas muslimnya hanya 83 persen. Seperti di Indonesia, ada yang mendukung agar Pakistan tetap sekuler, ada juga yang menginginkan negara Islam.
Waktu terlus berjalan. Lalu pada tahun 1956, Pakistan mengadopsi nama "Republik Islam Pakistan" yang menyatakan Islam sebagai agama resmi, tetapi mereka tidak mengambil langkah lebih lanjut untuk mengadopsi hukum Islam.
Hingga tahun 1971, para pemimpin militer negara itu (yang memutuskan apa yang terjadi secara politik di Pakistan) melanjutkan tradisi sekuler dan menekan sebagian besar aktivisme Islam. Di bawah Jenderal Zia-ul-Haq islamisasi terjadi, menyebabkan dia disebut "orang yang paling bertanggung jawab untuk mengubah Pakistan menjadi pusat global Islam politik".
Di satu sisi, Pakistan menjadi korban dari keputusannya untuk menggunakan Islam sebagai dasar negara. Jelas kesalahannya bukan terletak pada Islam itu sendiri, tetapi pada interpretasi Islam yang sarat dengan kepentingan politik.
Fatwa yang dikeluarkan sering digunakan untuk menghajar mereka yang tidak setuju dengan mereka, atau hanya, minoritas–termasuk perempuan. Pakistan juga menjadi korban geopolitik perang dingin global dan manipulasi Islam oleh Barat untuk rancangan jahatnya.
Banyak dari kita yang akrab dengan bagaimana AS menggunakan Afghanistan untuk perang proksi mereka melawan Soviet, melatih para mujahidin, yang akhirnya berubah menjadi Taliban.