Ende Jadi Saksi: Budaya Bangsa Mewarisi Sejarah Lahirnya Pancasila

By Galih Pranata, Kamis, 1 Juni 2023 | 07:01 WIB
Patung Soekarno di Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur, sebagai saksi sejarah lahirnya Pancasila yang terilhami budaya bangsa Indonesia. (Dinas Parekraf Provinsi NTT)

Nationalgeographic.co.id—Melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2016, tercatat sejak 1 Juni 1945 diperingati sebagai lahirnya Pancasila. Lahirnya Pancasila berangkat dari sejarah panjang, dan kisahnya bermula dari Ende.

Ende merupakan sebuah kabupaten dengan luas sekitar 2.067 km² yang berada di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Dari tempat inilah, sejarah lahirnya Pancasila mulai diukir.

Dalam kurun sejarah, "Ende dikenal sebagai tempat persinggahan dan bandar pelabuhan perdagangan," tulis Samingan dan Yosef Tomi Roe dalam jurnal Historia berjudul Menelusuri Jejak Sejarah Ende Sebagai Kota Pancasila terbitan 2021.

Samingan meneruskan bahwa "Letak Kota Ende strategis berada di tengah Pulau Flores membuat diminati para saudagar dari Gujarat, Cina, kaum muslim, Kerajaan Majapahit, Gowa, Bima, Portugis dan Belanda."

Menurutnya, Ende merupakan sebuah kota yang banyak menyimpan nilai-nilai sejarah. Seperti yang terjadi pada tahun 1934, Ende jadi saksi sejarah sebagai tempat pengasingan tokoh politik, seperti halnya Soekarno.

Kegiatan Soekarno dalam pergerakan kebangsaan membuatnya diasingkan jauh dari tanah Jawa. Di Ende-lah, Soekarno meramu berbagai pemikiran dan gagasan hingga tercetusnya gagasan dasar Pancasila.

Jangan bayangkan Soekarno menemukan Ende sebagai tempat yang dipenuhi dengan ruang rapat. Ia hanya menemukan beberapa bagian seperti perpustakaan sederhana untuknya membaca, dan pohon sukun yang rindang untuknya merefleksi pemikiran.

"Dalam refleksi Soekarno sering merenung di bawah pohon Sukun di pinggir laut," ungkap Samingan dan Yosef. Dari bawah ketenangan suasana syahdu itu, gagasan Soekarno melintang jauh, membayangkan merdeka bangsanya.

Sebagaimana Cindy Adams menggubah hikayat hidup sang proklamator dalam bukunya Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (2018), Soekarno pernah bertutur pengalamannya selama merenung di bawah pohon sukun:

"Aku lalu duduk dan memandang pohon itu. Dan aku melihat pekerjaan daripada Trimurti dalam agama Hindu. Aku melihat Brahmana Yang Maha Pencipta dalam tunas yang berkecambah di kulit kayu yang keabu-abuan itu."

Ia kembali melanjutkan: "Aku melihat Shiwa yang Maha Perusak dalam dahan-dahan mati yang gugur dari batangnya yang besar. Dan aku merasakan jaringan-jaringan yang sudah tua dalam badanku menjadi rontok dan mati di dalam."

"Pohon Sukun itu berdiri di atas sebuah bukit kecil yang menghadap teluk. Disana dengan pemandangan ke laut lepas tiada yang menghalangi dengan langit biru yang tidak ada batasnya dan megah putih yang menggelembung dan dimana sesekali seekor yang sedang bertualang lewat sendirian, disana itulah aku duduk melamun jam demi jam…," tutur Soekarno.

Rapat Besar BPUPKI pada 1 Juni 1945 menjadi hari dimana Pancasila lahir. (IPPHOS)

Dari buah kisahnya, Soekarno berdialektika dan bertutur tentang dinamika yang terjadi dalam pengalaman hidupnya, tentang keberagaman budaya bangsanya, dan tentang keindahan alam negerinya.

Selama di Ende, Soekarno untuk pertama kalinya dapat melihat dan mengenal arti dan makna keberagaman budaya dan agama. Ia menemukan banyak hal yang ia tidak temukan di tanah Jawa.

Ende menjadi saksi, lahirnya gagasan pemikiran Soekarno tentang butir-butir Pancasila yang tumbuh subur. Butir-butir itu terbagi dalam 4 kata kunci: Islam, diskusi, aksi teater, dan refleksi.

Ia memahami bahwa gagasannya lahir dari karakter dan budaya bangsanya. "Soekarno mengatakan Pancasila lahir dari semangat budaya, agama dan peran yang kuat adalah Islam," sambung Samingan dan Yosef.

Masyarakat Indonesia yang berbudaya, tidak akan lepas dari aspek Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi dan keadilan sosial di dalamnya. Maka dari itu, budaya bangsa yang sebenar-benarnya telah mewarisi sejarah lahirnya Pancasila.

Seterusnya, Seokarno membawa gagasan itu dalam sidang pertama oleh Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) yang dilaksanakan pada 29 Mei hingga 1 Juni 1945.

Sebuah mimbar di gedung Chuo Sangi In yang kini menjadi Gedung Pancasila, menjadi saksi di mana Soekarno secara lantang menjelaskan lima gagasan Negara Indonesia selama satu jam.

Sejarah mencatat, Soekarno mengumandangkan keyakinannya lewat Weltanschauung Pancasila, sebagai elemen yang harus tertanam dalam jati diri bangsa sebagai bekal persatuan dan kesatuan.

Weltanschaaung Pancasila berarti penanaman nilai-nilai Pancasila sebagai etika hidup bangsa Indonesia. Pancasila yang memiliki nilai keluhuran, diharapkan oleh Soekarno untuk menjadi pandangan hidup segenap bangsa Indonesia.

Melalui pandangan hidup, harapan tentang menjadi pribadi bangsa yang berbudi pekerti jadi alasan Soekarno percaya terhadap Pancasila. Baginya ada banyak nilai yang digali dari Pancasila dan dari sana kepribadian dan budaya bangsa mengilhami Pancasila.

Pancasila telah menjadi benteng kuat yang lebih kokoh dibandingkan Tembok Berlin di Jerman. Sejak kontestasi ideologi saat Perang Dingin, bukan liberalis, juga bukan komunis, Indonesia telah berpegang teguh pada Pancasila.

Setelah disepakatinya, Pancasila lahir sebagai falsafah dan ideologi yang melekat dalam diri bangsa. Sejarah membuktikan, Ende menjadi saksi bisu lahirnya Pancasila dari bawah rindangnya pohon sukun di tepi laut.