Masih Ada Kesenjangan dan Ketidaksetaraan dalam Aksi Perubahan Iklim

By Ricky Jenihansen, Sabtu, 3 Juni 2023 | 12:00 WIB
Tampak perbedaan permukaan laut dan daratan di pesisir Jakarta. Daerah di kawasan Penjaringan, Jakarta Utara, kerap dilanda banjir akibat pasang laut karena daratannya lebih rendah sekitar satu meter daripada muka laut. Perubahan iklim turut mempercepat naiknya muka laut. (Yunaidi/National Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.id - Penelitian baru dari ilmuwan University of Waterloo telah menunjukkan masih ada kesenjangan dan ketidaksetaraan dalam aksi perubahan iklim. Para peneliti mencoba merancang rencana aksi perubahan iklim untuk mengatasi kesenjangan tersebut.

Rincian penelitian baru tersebut telah mereka jelaskan di jurnal Planning Theory & Practice belum lama ini. Jurnal tersebut diterbitkan dengan judul "Centering Equity and Justice in Participatory Climate Action Planning: Guidance for Urban Governance Actors" yang bisa diperoleh secara daring.

Seperti diketahui, rencana aksi perubahan iklim di perkotaan sering kali mengidentifikasi pemerataan dan keadilan sebagai tujuan, tetapi keterlibatan dengan konsep-konsep ini sebagian besar hanya bersifat retoris.

Penelitian baru dari University of Waterloo ini, merinci bagaimana perencana dapat menjembatani kesenjangan dan menantang keadaan perubahan iklim dan ketidaksetaraan sosial saat ini.

Studi tersebut menegaskan bahwa mengembangkan pendekatan partisipatif untuk konsultasi publik dan keterlibatan masyarakat yang secara aktif adalah sangat penting.

Kemudian, mereka juga menambahkan perlu untuk sengaja melibatkan populasi rentan yang paling terkena dampak perubahan iklim.

Memperluas lingkup pengetahuan yang kita pertimbangkan ketika berbicara tentang perubahan iklim, menurut mereka, telah membentuk ulang pertanyaan yang diajukan dan solusi serta alternatif yang mungkin untuk didiskusikan.

“Komunitas tata kelola kota tidak sejelas yang seharusnya tentang kebutuhan untuk memprioritaskan penduduk yang rentan selama proses pengambilan keputusan tentang perubahan iklim,” kata Kayleigh Swanson, kandidat PhD di School of Planning Waterloo.

“Akibatnya, suara orang-orang yang mengalami berbagai bentuk penindasan sebagian besar dikecualikan dari apa yang disebut proses perencanaan aksi perubahan iklim partisipatif.”

Dalam mengejar metode partisipatif, penelitian ini menyarankan para praktisi untuk selalu mengingat empat tindakan. Yang pertama adalah memodifikasi strategi secara konsisten, kemudian merancang ruang kolaboratif yang mengenali berbagai cara untuk mengetahui.

Selanjutnya mengatasi kesenjangan antara apa yang dikatakan dan apa yang dilakukan, dan memperhatikan proses sosial yang mendasarinya yang dapat mendorong kerentanan terhadap perubahan iklim.

“Menantang status quo bukanlah tugas yang mudah, tetapi bukti menunjukkan bahwa tindakan atau aksi perbahan iklim lebih efektif jika dirancang dan diterapkan dengan keterlibatan aktor lokal,” kata Dr. Mark Seasons, profesor di School of Planning Waterloo.