'Pulung' Jadi Wahyu dan Alat Legitimasi Politik dalam Mitologi Jawa

By Galih Pranata, Jumat, 2 Juni 2023 | 15:00 WIB
Ilustrasi cahaya hijau sebagai pulung. Dalam mitologi Jawa, pulung dianggap sebagai wahyu dan alat legitimasi politik. (Forbes)

Nationalgeographic.co.id—Perolehan wahyu atau 'pulung' seakan jadi satu budaya yang lazim dalam mitologi Jawa, khususnya yang berkaitan dengan unsur politik. Meskipun bersifat mistis, mitologi Jawa ini nyatanya masih berkembang hari ini.

Pulung dalam mitologi Jawa umumnya masih dipercaya oleh masyarakat tradisi di pedesaan. Hemat penulis, pulung sebagai mitologi Jawa memainkan hal unik nun menarik yang mungkin tidak akan ditemukan dalam kancah politik nasional. 

"Kepercayaan tradisional menempatkan pulung sebagai alarm seseorang mengantongi anugerah sekaligus amanat," tulis Riza Multazam Luthfy, dosen Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya, menulis dalam artikelnya 'Pulung’ dalam Mitologi Jawa yang terbit di harian Kedaulatan Rakyat pada 2016.

Pulung merasuk pada kancah politik lokal, umumnya terjadi dalam ruang politik pemilihan kepala desa atau agenda politik pedesaan lainnya. Masyarakat desa meyakini pulung berbentuk seberkas cahaya berwarna biru atau hijau. 

Dalam mitologi Jawa, terdapat kepercayaan, "sebelum menjalankan titah, pemimpin desa memperoleh seberkas cahaya biru dari langit yang meluncur ke samping atau mengenai rumahnya," imbuh Riza dalam tulisannya yang dimuat di Kedaulatan Rakyat.

Sang jawara dalam kancah politik demokrasi tingkat desa, seperti halnya lurah yang menang dalam pilkades, dialah yang direstui dan diyakini rumahnya telah didatangi seberkas cahaya yang disebut dengan pulung.

Pulung seolah menyimpan kekuatan gaib yang mengantarkan seseorang untuk menduduki kursi kekuasaan.

"Dalam perspektif agama, ia ibarat wahyu yang dengannya seseorang menjalankan misi kenabian," lanjutnya. Tak ayal jika orang-orang Jawa yang berpandangan konservatif, akan mengkultuskan pulung.

Penilaian publik mengenai kelayakan seorang pemimpin terpilih, tidak serta-merta berangkat dari kejujuran, transparansi, serta loyalitasnya pada maayarakat, melainkan kepada siapa pulung berpihak.

Lantas, kredibilitas seorang pemimpin diukur dengan dukungan gaib, bukan prestasi, karakter, serta kerja kerasnya. Fenomena ini malah kerap dimanfaatkan oleh sejumlah oknum untuk meraup keuntungan.

Tidak jarang para oknum ini sengaja menyebar desas-desus bahwa salah seorang pesaing politiknya telah memperoleh pulung. Harapannya, optimisme dan semangat pendukung calon kepala desa lain menjadi menurun.

Pada dasarnya, pulung merupakan mitologi Jawa yang diperkirakan sudah lestari sejak era Hindu berkembang pesat di Indonesia. Sejak lama, pulung jadi pertanda atau simbolisme bagi manusia terpilih.