Selidik Gereja Kekaisaran Bizantium yang Dihancurkan Tentara Salib

By Ricky Jenihansen, Minggu, 4 Juni 2023 | 09:00 WIB
Reruntuhan dibangun kembali ketika Konstatinopel menjadi Istanbul di bawah Kekaisaran Ottoman. (Istanbul Metropolitan Municipality)

Yang tersisa sekarang hanyalah reruntuhannya, tetapi di masa kejayaannya, Gereja St. Polyeuctus didekorasi dengan indah dan mungkin memiliki kubah awal - desain yang disempurnakan di Hagia Sophia.

Polat mengatakan gereja itu ditinggalkan setelah rusak parah akibat gempa bumi pada abad ke-11 dan akhirnya hancur saat penjarahan kota pada 1204 oleh Tentara Salib, terutama dari Eropa Barat.

Seperti diketahui, ekspedisi bersenjata dari Eropa Barat telah berujung pada penjarahan kota Konstantinopel, ibu kota Kekaisaran Bizantium yang dikendalikan oleh kaum Kristen Ortodoks.

Menurut sejarawan Inggris Jonathan Phillips, penulis "The Fourth Crusade and the Sack of Constantinople" (Penguin Books, 2005), Tentara Salib telah dibujuk ke Konstantinopel untuk mendukung faksi Kekaisaran Bizantium saat dalam perjalanan untuk membebaskan Yerusalem.

Tetapi mereka dibiarkan dengan tangan kosong ketika kaisar favorit mereka digulingkan oleh pemberontakan, dan mereka malah menjarah kota kekaisaran Bizantium pada tahun 1204.

Pada bulan April 1204, Tentara Salib merebut Konstantinopel dengan brutal dan menjarah kota tersebut. Tentara Salib juga mendirikan Kekaisaran Latin yang baru, serta membagi-bagi wilayah Bizantium.

Gereja St. Polyeuctus adalah gereja Kekaisaran Bizantium yang terbesar sampai Hagia Sophia dibangun. (Istanbul Metropolitan Municipality)

Beberapa fitur arsitektur gereja diambil dan ditempatkan pada bangunan-bangunan sejauh Barcelona dan Wina, dan dua dari pilar berukirnya yang indah — dikenal sebagai Pilastri Acritani, atau "Pilar Acre" — sekarang menjadi bagian dari Basilika Santo Markus di Venesia.

Tragedi tersebut dipandang sebagai puncak pertentangan antara Gereja Ortodoks Timur dan Gereja Katolik Roma, antara Kristen Ortodoks yang berpusat di Konstantinopel dan Kristen Katolik yang berpusat di Roma.

Itupula yang menjadi titik balik penting dalam kemunduran Kekaisaran Bizantium bertahun-tahun kemudian. Hingga nantinya dengan krisis yang berkepanjangan, konstantinopel hanya tinggal menjadi negara kota.

Sementara, gereja terbesar di masanya itu, setelah ditinggalkan karena hancur dan rusak parah, barulah reruntuhan gereja itu dibangun kembali selama periode Kekaisaran Ottoman di Istanbul saat di bawah penguasan Muslim.

Sementara itu, Polat mengatakan perlu diperhatikan bahwa struktur bawah tanah bertahan begitu lama tanpa rusak parah akibat banyak gempa bumi di kawasan itu; dan umur panjang ini menunjukkan banyak bangunan Bizantium telah dirancang untuk menahannya.

Ken Dark, seorang arkeolog di King's College London yang tidak terlibat dalam proyek baru tersebut tetapi telah melakukan penggalian di Istanbul, mengatakan bahwa reruntuhan St. Polyeuctus termasuk yang terdokumentasi dengan baik di kota tersebut.

"Mudah-mudahan, menampilkan kembali reruntuhan gereja yang penting secara historis dan dulunya megah ini akan membawa kesadaran akan hal itu ke khalayak yang lebih luas," katanya.