Buddhisme secara resmi sudah diadopsi oleh Kaisar Yomei dan didukung lebih lanjut oleh Pangeran Shotoku yang membangun beberapa kuil, membentuk sebuah lembaga seniman untuk menciptakan gambaran Buddhis, dan ia sendiri adalah penganut ajaran Buddha.
Secara umum Buddhisme disambut baik oleh kaum elit Jepang karena membantu menaikkan status budaya Jepang sebagai negara maju di mata para tetangga yang kuat, Korea dan Tiongkok. Pangeran Shotoku juga mengirim duta besar resmi kepada kerajaan Sui di Tiongkok sekitar tahun 607 Masehi dan selama abad ke-7 Masehi.
Hubungan Jepang dengan para tetangga tidak selalu bersahabat. Kerajaan Silla, saingan lama Kerajaan Baekje di semenanjung Korea, akhirnya mengalahkan tetangganya pada tahun 660 Masehi. Mereka mendapat bantuan dari kekuatan angkatan laut Tiongkok yang besar.
Pemberontak Baekje membujuk Jepang untuk mengirimkan 800 kapal di bawah perintah Abe no Hirafu untuk membantu usaha mereka memperoleh kembali kekuasaan. Kesuksesan Persatuan Kerajaan Silla menghasilkan gelombang imigran yang masuk ke Jepang dari kerajaan Baekje dan Goguryeo yang jatuh.
Seni dan Arsitektur
Seni berkembang pesat pada Periode Asuka dan memunculkan nama alternatif, Periode Suiko (552-645 Masehi), sesuai dengan Ratu Suiko (memerintah 592-628 Masehi). Kesusastraan dan musik yang mengikuti gaya Tiongkok dengan aktif dipromosikan oleh istana dan seniman dibebaskan dari pajak.
Pematung menghasilkan patung-patung Buddha dari kayu dan perunggu berlapis emas dalam jumlah besar. Puisi-puisi digubah dan bisa ditemukan dalam Manyoshu atau ‘Kumpulan 10.000 Daun’, yang dikompilasikan sekitar tahun 760 Masehi, yang membuatnya sebagai antologi puisi paling awal dalam kesusastraan Jepang.