Memberi Peluang Bumi dengan Memopulerkan Isu Lingkungan Lewat Film

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Selasa, 6 Juni 2023 | 16:00 WIB
Editor in Chief National Geographic Indonesia Didi Kaspi Kasim (kiri) dan Managing Editor National Geograpic Indonesia Mahandis Yoanata Thamrin dalam diskusi film Semes7a yang digelar oleh Saya Pilih Bumi dan Wasteless Filim Festival 2023. (Afkar Aristoteles Mukhaer/National Geographic Indonesia)

Atau, contoh lain dari Almina Kacili dari Kapatcol, Raja Ampat, Papua Barat Daya, yang menerapkan sasi bersama komunitas perempuan di kampungnya. Dengan sasi, ada aturan bahwa biota laut tidak boleh diambil pada kala waktu tertentu. Namun, ketika pada masa sasi harus dibuka, bisa dimanfaatkan bagi masyarakat kampung untuk mendapatkan pemasukan.

Yang menarik lainnya dari pelestarian lingkungan bagi masyarakat Indonesia adalah menggunakan pendekatan agama. Masing-masing agama memiliki perspektif untuk mengelola alam dengan bijak dan memberikan waktu bagi alam untuk bernapas kembali setelah dimanfaatkan manusia.

Hindu di Bali menerapkan Nyepi, satu hari tanpa ada aktivitas termasuk kendaraan bermotor. Nyepi mengurangi jumlah karbon yang selama ini dihasilkan di Bali. Kristen dan Katolik memiliki ayat tentang tata kelola lingkungan yang dimanfaatkan masyarakat adat dan perkampungan secara bijak.

Sementara dalam agama Islam pun mengajarkan tentang konsep thayyib, bahwa segala konsumsi berlebihan akan menimbulkan keburukan, sehingga seharusnya pemanfaatan dari alam harus secukupnya. Mengonsumsi hal yang terurai adalah thayyib karena baik untuk alam, sementara yang tidak justru menimbulkan bencana.

"Kita sepatutnya mencontoh ini gaya hidup mereka yang yang dari tradisi leluhur mereka yang mungkin bagi orang kota aneh begitu, ya. Tapi bagi mereka ini justru dari kebiasaan kebiasaan mereka itulah mereka bisa survive—bisa melewati segala bencana, bisa melewati musim paceklik ini karena mereka mengatur sendiri pola-pola kehidupan," Mahandis berpendapat.

Oleh karena itulah, penting untuk mengungkapkan cara gaya hidup mereka dalam pembicaraan publik. Salah satunya bisa lewat media jurnalisme atau film, sebagai "panggung atau amplifikasi bagi suara-suara yang tidak cukup kuat," kata Didi.

"Karena memang transisi ini harus dijagain. Delapan miliar manusia ini bukan main-main. Karena kita pernah di era ketika alam mampu menyeimbangkan dirinya sendiri, tapi kemudian hari ini ketika kita sudah begitu masif menginvasi planet ini," lanjutnya.