Memberi Peluang Bumi dengan Memopulerkan Isu Lingkungan Lewat Film

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Selasa, 6 Juni 2023 | 16:00 WIB
Editor in Chief National Geographic Indonesia Didi Kaspi Kasim (kiri) dan Managing Editor National Geograpic Indonesia Mahandis Yoanata Thamrin dalam diskusi film Semes7a yang digelar oleh Saya Pilih Bumi dan Wasteless Filim Festival 2023. (Afkar Aristoteles Mukhaer/National Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.id—Sudah lebih dari delapan miliar manusia di muka Bumi dan angkanya terus bertambah di saat Anda membaca artikel ini sebelum tahun 2050. Bertambah jumlah populasinya, artinya tantangan masalah lingkungan serius.

Pasalnya, manusia sebagai yang paling aktif dalam mengubah alam, juga mengeksploitasinya sejak peradabannya berevolusi. Tengoklah pada hutan yang terus menipis. Lahannya beralih menjadi lahan perkebunan untuk kebutuhan pangan manusia seperti sawit dan persawahan.

Hal itu telah lama dipikirkan oleh ekonom Inggris Thomas Malthus dalam esainya, "kekuatan populasi manusia jauh lebih besar daripada kekuatan di bumi untuk menghasilkan penghidupan bagi manusia".

Di tengah gencarnya eksploitasi, sebagian kalangan masyarakat dunia mencari dan menggencarkan usaha untuk menyeimbangkan kekuatan alam dan manusia. Keseimbangan lingkungan penting agar kekacauan yang membahayakan bagi manusia sendiri bisa terjadi.

"Kita, manusia, harus berhenti (merusak) dan memberi waktu bagi alam untuk sembuh kembali," kata Editor In Chief National Geographic Indonesia Didi Kaspi Kasmi dalam diskusi film Semes7a yang diadakan oleh Saya Pilih Bumi dan Waste Less Film Festival 2023 di Jakarta pada Senin, 5 Juni 2023.

"Kalau tidak, alam yang nanti secara sendirinya bakal menghentikan secara paksa untuk bisa sembuh seperti pandemi," lanjutnya.

Film Semes7a adalah dokumenter yang diproduseri Amanda Marahimin dan Nicholas Saputra, tayang perdana pada 2018. Berkisah usaha pelestarian lingkungan dari berbagai kalangan mulai dari kalangan adat yang menjaga hutan, rohaniawan, pelestarian ekosistem laut, pegiat energi terbarukan di perkampungan, hingga ruang hijau perkotaan.

Menurut Didi, film ini sebagai pengingat bahwa sebenarnya isu lingkungan bukan pembicaraan segelintir pihak. Garda terdepan pelestarian alam berada pada kalangan adat dan masyarakat di daerah yang justru kurang memahami aturan undang-undang tentang konservasi. Tradisi dan keyakinan yang dimiliki, membuat mereka memahami secara sendirinya untuk menyeimbangkan alam.

"Di halaman kita, National Geographic Indonesia, berkait dengan perjumpaan dengan masyarakat-masyarakat adat, ini justru memperkaya perspektif keindonesiaan kita," ujar Mahandis Yoanata Thamrin, Managing Editor National Geographic Indonesia.

"Sebenarnya leluhur-leluhur kita dulu itu sudah punya cara mengakrabi alam—mengakrabi semesta, sehingga kehidupan mereka tetap harmoni dan cara seperti itu kampanye menjadi kerinduan (terhadap mendekati alam) untuk kita sekarang ini," lanjutnya.

Pasalnya, kalangan adat secara turun temurun telah membangun tatanannya dengan mendekatkan diri kepada alam.

Hal itu tertuang bagaimana kalangan masyarakat adat di Dusun Sungai Utik, Kalimantan Barat, mengatur kawasan lahan seperti hutan adat (hutan lindung), hutan pemanfaatan, dan kawasan penduduk. Mereka menerapkan aturan bahwa setiap masyarakat adatnya tidak boleh sembarangan menebang kayu.

Atau, contoh lain dari Almina Kacili dari Kapatcol, Raja Ampat, Papua Barat Daya, yang menerapkan sasi bersama komunitas perempuan di kampungnya. Dengan sasi, ada aturan bahwa biota laut tidak boleh diambil pada kala waktu tertentu. Namun, ketika pada masa sasi harus dibuka, bisa dimanfaatkan bagi masyarakat kampung untuk mendapatkan pemasukan.

Yang menarik lainnya dari pelestarian lingkungan bagi masyarakat Indonesia adalah menggunakan pendekatan agama. Masing-masing agama memiliki perspektif untuk mengelola alam dengan bijak dan memberikan waktu bagi alam untuk bernapas kembali setelah dimanfaatkan manusia.

Hindu di Bali menerapkan Nyepi, satu hari tanpa ada aktivitas termasuk kendaraan bermotor. Nyepi mengurangi jumlah karbon yang selama ini dihasilkan di Bali. Kristen dan Katolik memiliki ayat tentang tata kelola lingkungan yang dimanfaatkan masyarakat adat dan perkampungan secara bijak.

Sementara dalam agama Islam pun mengajarkan tentang konsep thayyib, bahwa segala konsumsi berlebihan akan menimbulkan keburukan, sehingga seharusnya pemanfaatan dari alam harus secukupnya. Mengonsumsi hal yang terurai adalah thayyib karena baik untuk alam, sementara yang tidak justru menimbulkan bencana.

"Kita sepatutnya mencontoh ini gaya hidup mereka yang yang dari tradisi leluhur mereka yang mungkin bagi orang kota aneh begitu, ya. Tapi bagi mereka ini justru dari kebiasaan kebiasaan mereka itulah mereka bisa survive—bisa melewati segala bencana, bisa melewati musim paceklik ini karena mereka mengatur sendiri pola-pola kehidupan," Mahandis berpendapat.

Oleh karena itulah, penting untuk mengungkapkan cara gaya hidup mereka dalam pembicaraan publik. Salah satunya bisa lewat media jurnalisme atau film, sebagai "panggung atau amplifikasi bagi suara-suara yang tidak cukup kuat," kata Didi.

"Karena memang transisi ini harus dijagain. Delapan miliar manusia ini bukan main-main. Karena kita pernah di era ketika alam mampu menyeimbangkan dirinya sendiri, tapi kemudian hari ini ketika kita sudah begitu masif menginvasi planet ini," lanjutnya.