Periode Kamakura, Era Ketika Samurai Mengendalikan Kekaisaran Jepang

By Sysilia Tanhati, Rabu, 7 Juni 2023 | 12:07 WIB
Di Periode Kamakura, samurai menguasai pemerintahan Kekaisaran Jepang. Seperti apa kehidupan di masa itu? (Utagawa Yoshitora)

Nationalgeographic.co.id—Samurai awalnya adalah orang yang disewa untuk menjaga harta tuanya. Seiring dengan berjalannya waktu, terjadi perubahan fungsi dan kedudukan samurai di masyarakat. Akhirnya, samurai menjadi kelas sosial di Kekaisaran Jepang. Dan di Periode Kamakura, mereka bahkan menguasai pemerintahan. Seperti apa Periode Kamakura di mana samurai berkuasa dan berjaya?

Apa Itu Periode Kamakura di Kekaisaran Jepang?

Periode Kamakura di Kekaisaran Jepang berlangsung dari tahun 1192 hingga 1333. Itu diawali dengan munculnya pemerintahan shogun. Panglima perang Kekaisaran Jepang, yang dikenal sebagai shogun, mengeklaim kekuasaan dari monarki turun-temurun dan cendekiawan mereka. Hal itu akhirnya memberi kendali penuh pada para prajurit samurai dan tuannya atas kekaisaran Jepang awal. Masyarakat juga berubah secara radikal dan sistem feodal baru pun muncul.

Seiring dengan perubahan ini, muncullah pergeseran budaya di Jepang. Buddhisme zen menyebar dari Tiongkok serta kebangkitan realisme dalam seni dan sastra. Semua itu disukai oleh panglima perang yang berkuasa saat itu.

Namun, perselisihan budaya dan perpecahan politik akhirnya menyebabkan kejatuhan pemerintahan shogun. Sekaligus mengakhiri kelas samurai. Seiring berjalannya waktu, kelas samurai pun perlahan menghilang. Pemerintahan Kekaisaran Jepang baru mengambil alih pada tahun 1333.

Perang Genpei dan munculnya era baru

Secara tidak resmi, Era Kamakura dimulai pada tahun 1185, ketika Klan Minamoto mengalahkan Klan Taira dalam Perang Genpei. Namun, baru pada tahun 1192 Kaisar Jepang mengangkat Minamoto Yoritomo sebagai shogun pertama Jepang. Ia memiliki gelar lengkap “Seii Taishogun” atau “jenderal besar yang menaklukkan kaum barbar timur”. Sejak inilah periode atau era baru benar-benar muncul.

Minamoto Yoritomo memerintah dari tahun 1192 hingga 1199 dari kursi keluarganya di Kamakura, sekitar 48 km selatan Tokyo. Pemerintahannya menandai awal dari sistem bakufu di mana kaisar di Kyoto hanyalah boneka dan para shogun memerintah Jepang.

Sistem ini akan bertahan di bawah kepemimpinan klan yang berbeda selama hampir 700 tahun sampai Restorasi Meiji tahun 1868.

Setelah kematian Minamoto Yoritomo, Klan Minamoto yang merebut kekuasaannya direbut oleh Klan Hojo. Hojo mengeklaim gelar shikken atau bupati pada tahun 1203. Para shogun menjadi boneka seperti halnya para kaisar. Ironisnya, Hojo adalah cabang dari Klan Taira, yang telah dikalahkan oleh Minamoto dalam Perang Gempei. Klan Hojo menjadikan status mereka sebagai bupati secara turun-temurun. Mereka mengambil kekuasaan efektif dari Minamoto selama sisa Periode Kamakura.

Masyarakat dan budaya di Periode Kamakura

Revolusi politik selama Periode Kamakura diimbangi dengan perubahan dalam masyarakat dan budaya Jepang. Salah satu perubahan penting adalah semakin populernya ajaran Buddha di masyarakat. Sebelumnya, ajaran hanya terbatas pada elite di istana Kekaisaran Jepang.

Selama Kamakura, orang Jepang biasa mulai mempraktikkan jenis baru Buddhisme, termasuk zen (Chan). Tentu saja ini diimpor dari Tiongkok pada tahun 1191. Selain itu, ada Sekte Nichiren yang didirikan pada tahun 1253. Sekte ini menekankan Sutra Teratai dan hampir dapat digambarkan sebagai Buddhisme fundamentalis.

Selama era Kamakura, seni dan sastra ikut bergeser. “Dari estetika formal dan bergaya yang disukai oleh kaum bangsawan menjadi gaya realistis yang memenuhi selera prajurit,” tulis Kallie Szczepanski di laman Thoughtci. Penekanan pada realisme ini terus berlanjut hingga Era Meiji dan terlihat di banyak cetakan ukiyo-e dari shogunal Jepang.

Periode ini juga mengalami kodifikasi formal hukum Jepang di bawah kekuasaan militer. Pada tahun 1232, shikken Hojo Yasutoki mengeluarkan undang-undang hukum yang disebut Goseibai Shikimoku yang mengatur hukum dalam 51 pasal.

Ancaman dari pihak asing dan kejatuhan kelas samurai

“Krisis terbesar Era Kamakura datang dengan ancaman dari luar negeri,” tambah Szczepanski Pada 1271, penguasa Mongol Kubilai Khan — cucu Genghis Khan — mendirikan Dinasti Yuan di Kekaisaran Tiongkok.

Setelah mengonsolidasikan kekuasaan atas seluruh Kekaisaran Tiongkok, Kubilai mengirim utusan ke Jepang. Tujuannya adalah untuk menuntut upeti. Tentu saja pemerintah shikken dengan tegas menolak atas nama shogun dan kaisar.

Bangsa Mongol mencoba melakukan dua invasi besar ke Jepang selama abad. Namun keduanya digagalkan oleh angin. Bangsa Jepang menyebutnya sebagai kamikaze, angin dari dewa. (Wikipedia)

Kubilai Khan menanggapi dengan mengirimkan dua armada besar untuk menginvasi Kekaisaran Jepang pada tahun 1274 dan 1281. Hampir tidak dapat dipercaya, kedua armada dihancurkan oleh topan. Topan itu dikenal sebagai kamikaze atau angin dewa di Jepang.

Meskipun alam melindungi Kekaisaran Jepang dari penjajah Mongol, biaya pertahanan memaksa pemerintah menaikkan pajak. Pada akhirnya, kenaikan pajak itu memicu gelombang kekacauan di seluruh negeri.

Shikken Hojo mencoba mempertahankan kekuasaan dengan membiarkan klan besar lainnya meningkatkan kendali mereka sendiri atas berbagai wilayah di Jepang. Mereka juga memerintahkan dua garis berbeda dari keluarga Kekaisaran Jepang untuk berganti penguasa. Hal itu merupakan upaya untuk menjaga salah satu cabang agar tidak menjadi terlalu kuat.

Meskipun demikian, Kaisar Go-Daigo dari Istana Selatan menunjuk putranya sendiri sebagai penggantinya pada tahun 1331. Penunjukan itu memicu pemberontakan yang menjatuhkan Hojo dan boneka Minamoto pada tahun 1333. Keduanya digantikan, pada tahun 1336, oleh Keshogunan Ashikaga yang berbasis di Muromachi. Goseibai Shikimoku tetap berlaku sampai Periode Tokugawa atau Edo.

Namun kelas samurai akhirnya menghilang dari Jepang sejak Restorasi Meiji yang mengubah banyak hal.