Nationalgeographic.co.id—Bizantium, atau Kekaisaran Romawi Timur pada masa kejayaannya menguasai banyak negeri di Timur Tengah.
Hanya saja, kekaisaran Kristen ortodoks itu kehilangan pengaruhnya ketika kekuatan Islam datang menggerogoti daerah-daerahnya. Salah satu kekaisaran Islam, Turki Seljuk, bahkan menguasai sebagian besarnya.
Hal ini membuat Eropa Barat muncul sebagai kekuatan baru pada akhir abad ke-11 untuk merebut kembali Yerusalem.
Meski demikian, kekuatan negara-negara Eropa Barat lemah dibandingkan peradaban lainnya di masa itu, termasuk dibandingkan dengan Kekaisaran Bizantium dan kekaisaran-kekaisaran Islam.
Maka untuk mewujudkan misi suci, sejarah Perang Salib melibatkan kolaborasi kerajaan-kerajaan di Eropa Barat.
Semua bermula ketika Kekaisaran Bizantium di bawah Kaisar Alexius I Komneneos, meminta bantuan pasukan bayaran dari Eropa Barat lewat Paus Urbanus II tahun 1095.
Sebab, Turki Seljuk telah berhasil merebut Yerusalem dan semakin masuk menguasai sebagian besar kekuasaannya.
Situasi antara Eropa Timur dan Barat, apalagi semenjak Kekaisaran Romawi di barat jatuh, punya hubungan yang kurang akur. Hubungan keduanya pun membaik dalam awal sejarah Perang Salib.
Dengan alasan kesamaan agama, Paus Urbanus II pernah juga membantu Kekaisaran Bizantium pada tahun 1091. Saat itu Eropa Timur diserang oleh pengembara rumpun Asia Tengah yang mendirikan Kekhanan Pecheneg.
Permintaan baru dari Kekaisaran Bizantium di tahun 1095, membuat Paus Urbanus II harus berpikir tentang betapa pentingnya Yerusalem.
Orang-orang Kristen, harus berupaya melindungi situs-situs penting seperti Makam Yesus Kristus. Inilah yang menejadi motivasi awal dalam sejarah Perang Salib.
Maka, Paus Urbanus II segera datang dalam pertemuan Dewan Clermont di Prancis pada November 1095. Dia meminta agar orang Kristen Barat mau angkat senjata untuk membantu Bizantium, dan merebut kembali Tanah Suci.