Nationalgeographic.co.id—Pada hari Sabtu, 26 Maret 1938, seorang Sunda bernama Anam dilaporkan memukul seorang Belanda bernama ACR Weise. Weise dipukul dengan benda tumpul, pipa gas sepanjang satu meter hingga tewas.
Kejadian itu terjadi di Rumah Sakit di Garut, tatkala Weise tengah dirawat karena terserang stroke ringan. Anam yang selesai memukul mati Weise, dilaporkan kembali menuju ke tempat tidurnya dirawat. Ia kembali tidur pulas setelah membunuh seorang Belanda!
Entah apa yang menyebabkan seorang pribumi Garut itu membunuh orang Belanda yang terbaring lemah di kasurnya. Laporan Belanda menyebut bahwa Anam mengidap masalah kejiwaan.
"Dua hari kemudian, Indische Courant menerbitkan berita tentang pembunuhan ini, dan Anam disinyalir mengidap sakit jiwa," tulis Vilan van de Loo kepada Historiek dalam artikelnya Doodgeslagen met de gaspijp, terbitan 25 Maret 2018.
Sejarah kecil Hindia Belanda memang menyajikan beragam kisah tentang hal-hal yang tak terduga. Terlebih, banyak catatan sejarah kecil Hindia Belanda yang menyebut bahwa terjadi kerentanan yang luar biasa di negeri ini. Banyak orang gila dan sakit jiwa.
Pembunuhan Weise menjadi kontroversial tatkala Anam yang memukulnya hingga tewas, dinyatakan memiliki masalah kejiwaan. Sontak beritanya di media massa mulai ramai, tatkala pribumi gila menghias sejarah kecil Hindia Belanda.
Beberapa koran berbahasa Belanda menyebut bahwa setelah Anam memukul, ia kembali tidur dengan pipa besi yang berlumuran di sebelah tempat tidurnya. Dokternya datang dan langsung menginterogasi Anam. Beruntung, ia tidak dimasukkan ke bui, hanya dipindahkan ke rumah sakit jiwa karena dianggap sangat meresahkan.
Laporan lain menyebut bahwa Anam sebenarnya telah dibui karena sempat meresahkan sebelumnya. Kabar tentang kondisi mentalnya juga diragukan karena ia sudah dinyatakan sebelumnya, sehingga ia dibui karena meresahkan.
Saat di sel, ia diizinkan keluar untuk sekadar bermain di taman rumah sakit. Di taman, "ia menemukan pipa berukuran besar, lalu dibawanya ke dalam rumah sakit untuk dipukulkannya ke Weise hingga tewas," terus van de Loo.
Setelah pemukulan itu, dokter menjumpainya disel karena Anam memerlukan pengawasan intensif terkait perkembangan kesembuhan dan kestabilan mentalnya. Saat dijumpainya di sel, Anam terlihat tertidur dengan sebilah pipa besar berlumuran darah di sampingnya.
Sang dokter membangunkan dan menginterogasinya. Ia mendiagnosis bahwa Anam belum sembuh sepenuhnya. Namun, kondisi di Hindia Belanda belum mampu memfasilitasi para orang gila dan sakit jiwa di sana.
Indische Courant juga menyebut bahwa terlalu banyak orang yang gila d Hindia Belanda, membuat keterbatasan rumah sakit jiwa.
"Ruang rumah sakit jiwa tidak pernah dapat memenuhi untuk menampung orang gila di Hindia Belanda," tulis responden Indische Courant.
Kisah sejarah kecil tentang pribumi gila yang meresahkan juga diungkap oleh Patrick Beck kepada Historiek dalam artikelnya berjudul Krankzinnig in Nederlands-Indië terbitan 6 Januari 2021.
Ia mengisahkan sejarah kecil tentang dua saudara gila, Amatardjo dan Amatredjo. Mereka diketahui berada dalam sel tahanan karena permasalahan kriminal sebelumnya. Ketika mereka diminta pihak lapas menebang pohon besar, sontak mereka terlihat menjadi 'linglung.'
Setelahnya, mereka dikabarkan berteriak-teriak tak karuan, menjadi liar dan membuat keonaran dalam selnya.
Meskipun dua hari kemudian mereka membaik setelah kekacauan yang disebabkan oleh dua bersaudara aneh itu, Landraad menyarankan untuk memasukkan mereka ke rumah sakit jiwa.
Nahas, ketika pihak lapas menghubungi rumah sakit jiwa, ruang-ruang di rumah sakit jiwa penuh akibat membludaknya jumlah pribumi yang mengidap penyakit mental dan kejiwaan di Hindia Belanda.
Dua bersaudara itu menunggu lima bulan dalam kondisi yang kejiwaan yang memprihatinkan. Begitulah kenyataan yang menyedihkan tentang fasilitas rumah sakit jiwa di Hindia Belanda.
Perawatan masalah kejiwaan di Hindia Belanda berkembang pesat dalam dekade pertama abad kedua puluh. Secara formal, rumah sakit jiwa di Hindia Belanda dimulai pada tahun 1896.
Sejarah kecil mencatat bahwa pembukaan rumah sakit jiwa pertama dilakukan di Buitenzorg (sekrang Bogor), di mana orang Eropa, pribumi, dan 'Orang Timur Asing' dirawat di sana.
Landraden—petugas yang berwenang untuk menerima seseorang pasien gila—menyebut bahwa pada kenyataannya kegilaan seseorang diukur berdasarkan "indikasi sosialnya."
Indikasi kegilaannya tergantung pada orang tersebut dianggap "berbahaya secara sosial, biasanya setelah anggota keluarga atau penduduk desa melaporkan tentang tindakannya yang meresahkan," tambah Beck.
Adapun kondisi rumah sakit jiwa yang kerap penuh dan tak mampu menampung banyak pasien gila disebabkan oleh dua hal: kurangnya ruang di rumah sakit jiwa dan kurangnya instrumen diagnostik yang tepat.
Tatkala seseorang mendadak menjadi agresif—mungkin karena penyakit menular atau tekanan hidup yang membuatnya menjadi liar—sudah pasti akan dicap gila oleh lingkungan sosialnya. Inilah yang membuat jumlah pribumi gila membludak di Hindia Belanda.
Bagaimanapun, kisah-kisah tentang pribumi gila yang meresahkan di Hindia Belanda akan tercatat dalam sejarah kecil. Suatu kondisi masa silam yang memprihatinkan, menjadi bangsa yang terjajah.