Nationalgeographic.co.id—Seumpama pohon dengan kumpulan ribuan daun. Manyoshu atau kumpulan sepuluh ribu daun ibarat pohon yang setiap lembar daunnya berisi sebuah syair.
Ribuan puisi Jepang kuno disusun pada 759 Masehi atau selama periode Nara. Antologi ini dianggap sebagai kumpulan puisi Jepang tertua yang masih ada.
Syair puisi ini menjadi warisan sejarah dan budaya kekaisaran Jepang yang mampu memberikan wawasan tentang budaya dan nilai-nilai Jepang kuno.
Koleksi kumpulan puisi ini telah dipelajari oleh para ahli selama berabad-abad dan memberi pengaruh signifikan pada sastra Jepang modern.
Isi dari antologi kekaisaran Jepang abad ke-7 ini mencapai 4500 puisi yang disusun dalam 20 buku.
Bila dikaitkan dengan buku sejarah kekaisaran Jepang Kojiki yang berisi catatan peristiwa, ada makna kata yo dalam Manyoshu. Makna kata tersebut diartikan sebagai generasi."Kuingin menceritakan hal ini kepada sepuluh ribu generasi" tertulis dalam Kojiki.
Ahli sejarah menganggap Manyoshu disusun oleh penyair Otomo no Yakamochi (718-785). "Dia pasti memasukkan banyak karyanya sendiri, sekitar 479 atau sepuluh persen dari koleksinya" ungkap Mark Cartwright.
Yakamochi lahir dari keluarga aristokrat dan ayahnya juga seorang penyair. Ketika berusia 30 tahun, Yakamochi diangkat menjadi gubernur provinsi terpencil di Etchu yang sekarang Prefektur Toyama. "Antologi ini sarat akan tema alam, cinta, perpisahan dan kesepian" lanjut Cartwright.
Kecintaan Yakamochi akan puisi tidak terhenti walau pekerjaan mengharuskannya pindah kembali ke ibu kota di Nara untuk bertugas di Kementerian Urusan Militer.
Ia malahan mengumpulkan puisi dari para penjaga di sekitar kota namun kemudian terhenti, Yakamochi meninggal pada 785 M.
Koleksi Manyoshu berisi puisi-puisi semuanya ditulis dalam bahasa Jepang kuno, sekilas naskah Manyoshu ditulis dalam bahasa Tionghoa klasik.
Karena ketika buku ini disusun, aksara kana belum diciptakan di Jepang. Aksara kanji diambil dari bahasa Tionghoa untuk melambangkan bunyi bahasa Jepang.