“Pada dasarnya, dipol mengintensifkan kondisi kering dan basah yang dapat mengakibatkan peristiwa ekstrem seperti peristiwa kering selama bertahun-tahun atau puluhan tahun di Afrika Timur dan peristiwa banjir di Indonesia Selatan,” kata penulis utama makalah Xiaojing Du, dari Department of Earth, Environmental, and Planetary Sciences di Brown University.
“Ini adalah peristiwa yang berdampak pada kehidupan masyarakat dan juga pertanian di wilayah tersebut. Memahami dipol dapat membantu kita memprediksi dan mempersiapkan diri dengan lebih baik untuk perubahan iklim di masa depan,” lanjutnya seperti yang dikutip dari rilis Brown University.
Lewat makalah tersebut, para peneliti menjelaskan, dipol Samudra Hindia terbentuk di akhir Zaman Es dan awal dari masa geologis yang tengah berlangsung. Dari sini, mereka melihat bahwa peristiwa yang disebabkan fenomena dipol, memiliki fase positif dan negatif yang bergantian.
Misalnya, dalam pemantauan mereka ketika dipol negatif, akan membawa curah hujan yang lebih besar ke Indonesia, tetapi memicu kekeringan di Afrika Timur. Perubahan ini sudah berlangsung selama 17.000 tahun, bahkan lebih ekstrem karena bisa sempat menyebabkan Danau Victoria, sebagai salah satu danau terbesar di dunia, mengering secara total di masa lalu.
Terkait hubungannya dengan pencairan es di kutub utara dengan dipol Samudra Hindia terdeteksi oleh para peneliti. Terdapat interaksi antara sistem transportasi panas Samudra Atlantik dan lingkaran atmosfer yang disebut sebagai Sirkulasi Walker yang berada di bagian tropis Samudra Hindia.
Sirkulasi Walker ini punya dua aliran yang terikat pada satu lingkaran besar. Pertama adalah di bagian bawah atmosfer yang mengalir dari timur ke barat, dan melintasi sebagian besar wilayah pada ketinggian rendah di dekat permukaan laut. Yang kedua, bagian atas yang mengalir ke arah sebaliknya pada atmosfer yang lebih tinggi.
Sementara, kutub utara lebih terhubung dengan Samudra Atlantik. Fenomena yang sedang berlangsung di Samudra Atlantik adalah adanya gangguan dan pelemahan transportasi panas karena perubahan iklim.
Gangguan ini disebabkan pencairan besar-besaran yang terjadi di lapisan es Laurentide yang dulunya pernah menutupi sebagian besar Amerika Utara. Pencairan es ini menyebabkan pendinginan Samudra Atlantik.
Pencairan yang membuat suhu dingin ada di Samudra Atlantik ini membuat anomali angin, memicu putaran atmosfer di atas Samudra Hindia tripis yang membuatnya semakin ekstrem.
Inilah yang kemudian menyebabkan pada saat dipol fase negatif, daerah timur Samudra Hindia (tempat Indonesia dan Australia) mengalami peningkatan curah hujan. Lalu, berangsur-angsur siklus pun terbentuk, ketika Afrika Timur justru meningkat curah hujannya saat fase positif dipol Samudra Hindia.
“Greenland saat ini mencair begitu cepat sehingga mengeluarkan banyak air tawar ke Samudera Atlantik Utara dengan cara yang berdampak pada sirkulasi laut,” kata James Russell, rekan peneliti dari Department of Earth, Environmental, and Planetary Sciences, Brown University.