Nationalgeographic.co.id—Dipol Samudra Hindia (IOD) merupakan fenomena suhu permukaan air laut secara periodik yang tidak teratur. Fenomena ini menyebabkan Samudra Hindia lebih hangat atau dingin di dibagian barat daripada normalnya di bagian timur.
Dipol Samudra Hindia ini seperti El-Nino di Samudra Pasifik, sehingga terkadang disebut sebagai Nino Hindia. Tentunya, bisa berdampak pada perubahan cuaca ekstrem di negara-negara yang terdampak, seperti Indonesia dan di Afrika Timur.
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengatakan bahwa kondisi dipol Samudra Hindia saat ini berada di fase positif. Fase positif menandakan, Samudra Hindia bagian barat lebih hangat dibandingkan kawasan timurnya.
Dampak dari fase positif dipol Samudra Hindia bisa menyebabkan kekeringan berkepanjangan di wilayah Asia Tenggara dan Australia. Sebab, fase ini membuat kawasan di sebelah timur, pada umumnya, membuat curah hujan rendah karena rendahnya tingkat evaporasi di wilayah perairan timur Samudra Hindia.
Indonesia mungkin akan berdampak lebih parah lagi pada pertengahan hingga akhir tahun 2023 ini. Pasalnya, El-Nino dari Samudra Pasifik juga tengah berlangsung, di mana suhu perairan bagian tropis Samudra Pasifik menjadi lebih hangat. El Nino diketahui menjadi penyebab kemarau ekstrem dan panjang di Indonesia, karena periode osilasinya berbanding terbalik dari La Nina.
"Kombinasi dari fenomena El-Nino dan IOD yang diprediksi terjadi pada semester kedua 2023 dapat berdampak pada berkurangnya curah hujan di sebagian wilayah Indonesia selama periode musim kemarau 2023," terang Dwikorita dalam konferensi pers daring BMKG Selasa, 6 Juni 2023.
"Bahkan, sebagian wilayah diprediksi mengalami curah hujan dengan kategori bawah normal atau lebih kering dari kondisi normalnya," lanjutnya.
BMKG pun menawarkan rekomendasi yang harus dipersipakan, yakni dengan infrastruktur untuk pengelolaan seperti waduk, bendungan, embung, dan sejenisnya sebagai penyimpanan air hujan yang masih turun saat ini. Pasokan ini akan berguna demi ketahanan di musim kemarau panjang dan ekstrem ke depannya.
Tidak lupa juga, masyarakat dan pemerintah harus mulai bersiaga akan panas yang menyebabkan kebakaran hutan dan lahan. Apalagi, beberapa provinsi seperti di Sumatra Utara dan Riau akan menjadi contoh titik berisiko kebakaran hutan dan lahan.
Perubahan iklim sangat berdampak pada dipol Samudra Hindia
Sebuah studi di jurnal Science Advances Januari 2023 mengungkapkan, pencairan air es dari gletser besar di kutub utara bisa menyebabkan kekeringan dan banjir di Afrika Timur dan Indonesia. Penelitian ini juga mengungkapkan bahwa pola yang terjadi saat ini, serupa dengan berakhirnya Zaman Es Terakhir karena perubahan iklim juga, dalam artikel sebelumnya.
“Pada dasarnya, dipol mengintensifkan kondisi kering dan basah yang dapat mengakibatkan peristiwa ekstrem seperti peristiwa kering selama bertahun-tahun atau puluhan tahun di Afrika Timur dan peristiwa banjir di Indonesia Selatan,” kata penulis utama makalah Xiaojing Du, dari Department of Earth, Environmental, and Planetary Sciences di Brown University.
“Ini adalah peristiwa yang berdampak pada kehidupan masyarakat dan juga pertanian di wilayah tersebut. Memahami dipol dapat membantu kita memprediksi dan mempersiapkan diri dengan lebih baik untuk perubahan iklim di masa depan,” lanjutnya seperti yang dikutip dari rilis Brown University.
Lewat makalah tersebut, para peneliti menjelaskan, dipol Samudra Hindia terbentuk di akhir Zaman Es dan awal dari masa geologis yang tengah berlangsung. Dari sini, mereka melihat bahwa peristiwa yang disebabkan fenomena dipol, memiliki fase positif dan negatif yang bergantian.
Misalnya, dalam pemantauan mereka ketika dipol negatif, akan membawa curah hujan yang lebih besar ke Indonesia, tetapi memicu kekeringan di Afrika Timur. Perubahan ini sudah berlangsung selama 17.000 tahun, bahkan lebih ekstrem karena bisa sempat menyebabkan Danau Victoria, sebagai salah satu danau terbesar di dunia, mengering secara total di masa lalu.
Terkait hubungannya dengan pencairan es di kutub utara dengan dipol Samudra Hindia terdeteksi oleh para peneliti. Terdapat interaksi antara sistem transportasi panas Samudra Atlantik dan lingkaran atmosfer yang disebut sebagai Sirkulasi Walker yang berada di bagian tropis Samudra Hindia.
Sirkulasi Walker ini punya dua aliran yang terikat pada satu lingkaran besar. Pertama adalah di bagian bawah atmosfer yang mengalir dari timur ke barat, dan melintasi sebagian besar wilayah pada ketinggian rendah di dekat permukaan laut. Yang kedua, bagian atas yang mengalir ke arah sebaliknya pada atmosfer yang lebih tinggi.
Sementara, kutub utara lebih terhubung dengan Samudra Atlantik. Fenomena yang sedang berlangsung di Samudra Atlantik adalah adanya gangguan dan pelemahan transportasi panas karena perubahan iklim.
Gangguan ini disebabkan pencairan besar-besaran yang terjadi di lapisan es Laurentide yang dulunya pernah menutupi sebagian besar Amerika Utara. Pencairan es ini menyebabkan pendinginan Samudra Atlantik.
Pencairan yang membuat suhu dingin ada di Samudra Atlantik ini membuat anomali angin, memicu putaran atmosfer di atas Samudra Hindia tripis yang membuatnya semakin ekstrem.
Inilah yang kemudian menyebabkan pada saat dipol fase negatif, daerah timur Samudra Hindia (tempat Indonesia dan Australia) mengalami peningkatan curah hujan. Lalu, berangsur-angsur siklus pun terbentuk, ketika Afrika Timur justru meningkat curah hujannya saat fase positif dipol Samudra Hindia.
“Greenland saat ini mencair begitu cepat sehingga mengeluarkan banyak air tawar ke Samudera Atlantik Utara dengan cara yang berdampak pada sirkulasi laut,” kata James Russell, rekan peneliti dari Department of Earth, Environmental, and Planetary Sciences, Brown University.