Nationalgeographic.co.id―Setiap empat tahun sekali atau lebih, siklus El Nino datang memanaskan negara-negara sekitar Samudra Pasifik. Para ilmuwan dari berbagai negara terdampak seperti Amerika Serikat dan Indonesia, memperkirakan pertengahan tahun 2023 hingga 2024, El Nino kembali menerpa.
Secara harfiah, El Nino berarti "anak laki-laki" dalam bahasa Spanyol. Banyak rohaniwan Kristen menghubungkan nama ini untuk merujuk bayi Yesus. Istilah El Nino telah lama dipakai untuk menggambarkan siklus ini oleh para nelayan di Amerika Selatan yang telah mengetahui lebih dulu. Mereka menyebut El Nino karena efek besar ini muncul sekitar Natal.
Fenomena El Nino merupakan salah satu bagian siklus cuaca hangat dan basah yang terjadi secara alami. Siklus ini disebut sebagai Osilasi Selatan El Nino (ENSO), yang pada gilirannya bergantian dengan La Nina.
El Nino 'kebalikan' dari La Nina. Fenomena El Nino tidak selama La Nina. Ketika El Nino datang, permukaan laut di bagian tengah atau tropis Samudra Pasifik menjadi lebih hangat.
Angin pasat pun bergerak lebih lambat melintasi permukaan Samudra Pasifik tropis. Angin mendorong permukaan air laut yang hangat ke arah Asia dan Australia. Sehingga, perairan di sekitar Australia selatan, kepulauan Indonesia, dan beberapa kawasan Asia Tenggara di dekat garis khatulistiwa, memiliki kolam hangat.
Suhu hangat pada permukaan samudra menyebabkan tekanan rendah pada atmosfer di atasnya. Banyak air yang menguap dan menciptakan awan di langit, sehingga menyebabkan curah hujan di bagian timur Samudra Pasifik di luar garis khatulistiwa seperti Amerika Serikat.
Sementara di kawasan tropis seperti Indonesia, El Nino menyebabkan suhu hangat―yang pada gilirannya membuat laut turut hangat. Suhu hangat ini membuat negara yang terkena El Nino mengalami panas dan kemarau hebat.
Tahun 1997 hingga 1998, misalnya, menyebabkan kemarau ekstrem. Diketahui sebagai El Nino terkuat yang menerpa Indonesia sejak 64 tahun sebelumnya. Oleh sebab itu, El Nino periode ini dinyatakan sebagai 'climate event of the century'. Kemarau panjang menyebabkan hutan di Indonesia dan Amazon terbakar.
Di Amerika Serikat, El Nino periode ini menyebabkan bencana berupa air bah yang kuat di pesisir barat. Bangunan, lahan pertanian, dan infrastruktur lainnya mengalami kerusakan lebih dari 3,5 miliar dolar AS.
Selanjutnya, El Nino yang kuat kembali terjadi pada 2015 hingga 2016. Fenomena ini mengantarkan panas yang tidak kalah merugikan karena berimbas pada ketersediaan pangan dunia, menurut laporan World Food Programme (WFP).
Di Indonesia, curah hujan lebih rendah, terutama pada kawasan timur. Hal ini berdampak pada tingkat penanaman 80 persen lebih rendah. Suhu yang panas juga berdampak dari segi lingkungan: pemutihan karang di seluruh Pasifik, dan kebakaran hebat di seluruh Australia dan Indonesia. Sementara di Amerika Selatan mengalami banjir besar.
Para ilmuwan belum tahu persis mengapa siklus El Nino dan La Nina bisa ada. Seolah menjadi rahasia Bumi untuk bekerja. Namun, dengan pengamatan dan laporan, para ilmuwan bisa memprediksi kapan siklus ENSO akan datang.
Mengetahui pergantian ENSO punya manfaat yang baik untuk ketahanan kita. Pasalnya, negara-negara yang berada di sekitar Samudra Pasifik bisa mempersiapkan mitigasi sebelum bencana buruk menerpa.
Baca Juga: Hujan Tinggi Jelang Ancaman Panas El Nino, Peneliti: La Nina Modoki
Baca Juga: Tahun Panas Bagi Indonesia: Gelombang Panas Ekstrem Asia dan El Nino
Baca Juga: Gelombang Panas Jadi Ancaman Negara yang Belum Terpapar Sebelumnya
Baca Juga: Besarnya Efek Riak dari 'Gelombang Panas Terburuk dalam Sejarah Asia'
Akan tetapi, kita tidak bisa menganggap siklus ENSO sepele. Perubahan iklim memicu siklusnya meningkat, seiring planet Bumi yang semakin memanas. Para ilmuwan memprediksikan El Nino akan lebih hangat dan lebih basah. Di sisi lain, La Nina juga akan lebih kering, sehingga dampaknya akan lebih merusak bagi masyarakat di seluruh dunia.
Untuk mengetahui dampak perubahan iklim dengan peningkatan siklus ENSO masih belum pasti. Para ilmuwan belum punya catatan pasti tentang siklus ini dengan gas rumah kaca yang telah diubah manusia. Mereka hanya menyimpulkan bahwa kekuatan siklus ini akan semakin kuat di masa depan.
Source | : | National Geographic,National Geographic Indonesia,Megasains |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
KOMENTAR