Nationalgeographic.co.id—Pakaiannya yang tadinya seputih salju kini bernoda merah. Ia memotong rambutnya yang panjang dan mengikatnya menjadi simpul di atas kepalanya. Di tangannya tergenggam tombak yang berat.
Kawahara Asako, seorang onna-bugeisha, baru saja membunuh ibu mertua dan putrinya yang masih kecil. Ia melakukanya untuk mencegah mereka jatuh ke tangan musuh.
Dengan sekujur tubuh berlumur darah mertua dan anaknya, ia maju ke medan perang, siap untuk mati demi mempertahankan rumahnya.
Kawahara bertempur dalam Pertempuran Aizu, yang diambil dari nama sebuah wilayah di bagian utara Kekaisaran Jepang.
“Itu adalah salah satu konflik paling mematikan dalam Perang Boshin, konflik sipil yang mengguncang Jepang dari tahun 1868 hingga 1869,” tulis Christin Bohnke, pada laman JSTOR Daily.
Pertempuran Aizu dalam Sejarah Kekaisaran Jepang
Pertempuran Aizu mempertemukan pasukan Kaisar Meiji dengan Keshogunan Tokugawa, rezim militer yang telah memerintah Kekaisaran Jepang sejak tahun 1603.
Christin menjelaskan, keshogunan yang bersekutu dengan Aizu, ingin melestarikan keaslian Kekaisaran Jepang, cara hidup tradisionalnya, dan membatasi pengaruh Barat. Namun, “kaisar, di sisi lain, mempelopori transformasi negara menjadi negara-bangsa modern dalam sebuah revolusi dari atas.”
Meiji menyerbu wilayah Aizu pada tahun 1868. Mereka melakukannya untuk mengukuhkan kendali mereka atas Jepang.
Jumlah pasukannya yang lebih banyak daripada tentara keshogunan, tentu menjadi suatu keuntungan bagi pasukan Meiji. Ditambah dengan persediaan yang lebih melimpah, akan mempermudah mereka dalam merebut pemukiman.
Setelah Keshogunan Tokugawa mengalami kerugian besar, penduduk Aizu dikerahkan untuk membarikade Kastil Tsuruga.