Christin menerangkan, wanita Aizu diajarkan untuk memprioritaskan apa yang harus dipertahankan. “Di atas segalanya, mereka harus melindungi tuan dan wilayah mereka. Setelah itu, barulah mereka harus melindungi keluarga mereka.”
Menghadapi tentara musuh yang maju pada musim gugur 1868, para wanita Aizu memiliki empat pilihan: melarikan diri ke pedesaan, mundur ke Kastil Tsuruga, bunuh diri, atau berperang.
Meskipun beberapa orang bunuh diri untuk mencegah penangkapan, sebagian besar mundur, membuat amunisi, mendukung para pejuang, dan merawat mereka yang terluka.
Pada suatu waktu, di Tsurga, situasi semakin memburuk. Makanan dan obat-obatan habis, sementara yang terluka dan mati tampak memenuhi setiap sudut. Namun, para wanita Aizu terus melakukan perlawanan.
Seorang wanita berusia 60 tahun menjadi korban percobaan perampokan oleh seorang tentara musuh ketika dia pergi untuk mendapatkan makanan untuk orang-orang yang terluka.
Alih-alih kabur, wanita itu menghabisi perampok tersebut dan melanjutkan perjalanan. Tanpa cedera serta dengan makanan yang tampaknya ada di tangan, ia kembali ke kastil.
Pertempuran Aizu sering dipandang sebagai salah satu perjuangan terakhir para pejuang wanita Kekaisaran Jepang. Dengan Restorasi Meiji, kelas prajurit samurai sebagian besar menghilang, meskipun cita-cita mereka terus memberikan pengaruh yang besar.