Salah satu upaya lainya yang menjadikan teh populer di Kekaisaran Jepang adalah ketika abad ke-12 biksu Eisai membawa benih teh untuk ditanam.
Ia juga menerapkan metode matcha: teh hijau bubuk yang dapat dicampur ke dalam minuman kental berbusa.
Selain membawa amunisi teh, setelah pulang belajar dari tanah Tiongkok, Eisai juga membawa ajaran Buddha Zen ke Jepang.
Ia dianggap sebagai pendiri Rinzai Zen, yang didasarkan pada keyakinan bahwa pencerahan dapat dicapai dengan melakukan tindakan sehari-hari.
Para biksu Jepang menerapkan keyakinan tersebut dalam meminum teh. Pada akhirnya hal itu menjadi ritual khas Kekaisaran Jepang yang sekarang dikenal sebagai upacara minum teh chado.
"Ritual minum teh saat ini adalah fenomena Jepang," kata Anderson. "Penekanan pada keindahan musiman dan koreografi formal sangat khas Jepang."
Teh dan Samurai Kekaisaran Jepang
Selama periode Muromachi (sekitar tahun 1333-1573),panen teh di Kekaisaran Jepang semakin meningkat. Hal ini juga diikuti semakin populernya minuman ini di kalangan prajurit dan pedagang.
Mereka mengadakan jamuan makan mewah dengan menyajikan semangkuk matcha. Kadang-kadang sake juga disajikan, hal ini mengubah acara minum teh di wihara menjadi pesta yang meriah.
Para tamu berkompetisi dengan memamerkan keramik mahal dan peralatan minum teh dari Tiongkok, serta gulungan dan lukisan.
Para pemimpin samurai bahkan mengirim utusan ke Tiongkok untuk mengumpulkan benda-benda khusus demi acara-acara seperti itu.
Pada tahun 1467, hampir dua abad peperangan meletus ketika para panglima perang samurai bertempur untuk menguasai Jepang selama periode Sengoku.