Dalam masa ini, upacara minum teh menjadi ritual yang lebih diatur.
Herbert Plutschow, seorang cendekiawan Jepang, menulis bahwa teh, yang didasarkan pada konsep Zen tentang harmoni dan rasa hormat, membantu membangun kesepakatan di antara para pesaing.
"Untuk mengatasi kekacauan secara ritual, teh harus menjadi seni ritual yang sangat halus," katanya. "Tanpa teh, kehancuran pada masa Negara-negara Berperang mungkin akan jauh lebih buruk."
Dalam periode Sengoku, upacara minum teh menjadi lebih tenang alih-alih pesta meriah. Peralatan minum tehnya pun menjadi lebih sederhana–menggunakan kayu, bambu, gading, dan perunggu dari Tiongkok–seperti yang tertulis dalam Kokoro no fumi.
Ruangan dalam menikmati teh juga menjadi sederhana. Ruangan itu hanya akan terdiri dari empat setengah tikar tatami (sekitar 24 meter persegi), menciptakan ruang simbolis yang dikenal sebagai soan cha, atau pondok teh jerami.
Suasana ketenangan, disiplin, dan kesungguhan ini menarik banyak orang untuk masuk, terutama di kalangan samurai.
Seiring berjalanya waktu upacara minum teh mengalami perkembangan, namun tetap menitikberatkan pada kesederhanaan. Setelah pergolakan Perang Dunia II, upacara minum teh semakin populer sebagai cara untuk mempertahankan tradisi Jepang.