Sebelumnya juga dalam isu yang dijanjikan, para buruh kontrak Jawa di Suriname dapat kembali lagi ke Jawa, tetapi pada kenyataannya, mereka dipersulit birokrasinya untuk bisa kembali pulang ke Jawa.
Semua isu yang dihembuskan hanya berita palsu, "ketika mereka sampai dan melakukan kontrak kerja, semuanya berbeda dari yang mereka bayangkan," pungkas Sarmoedjie .
Dengan cara-cara mereka menghasut dan mempropaganda, banyak dari keluarga pribumi akan kehilangan keluarga lainnya, karena banyak dari mereka yang berangkat ke Suriname, tidak akan bisa kembali, atau kembali dengan waktu yang sangat lama.
Setelah mendaftar, Mijem dan ibunya menunggu selama beberapa hari di Semarang, dalam lingkungan yang kurang nyaman dan sanitasi yang buruk. Setelah menunggu sekian lamanya, Mijem dan ibunya dapat giliran untuk berangkat.
Pada hari Rabu, 5 November 1919, mereka berangkat dari Semarang dengan nomor sampel 607 bersama 631 orang Jawa lainnya. Mereka berlayar dengan kapal uap De Madioen yang diperkirakan akan tiba di Suriname 47 hari kemudian.
Kapal uap De Madioen seberat 6.800 ton di bawah komando Kapten Ruhaak tiba beberapa hari lebih lambat dari yang diperkirakan. Kapal itu tiba di Paramarimbo, Suriname pada Senin malam, 22 Desember 1919.
Melalui laporan yang dikutip dalam catatan sejarah kolonial, disebutkan bahwa keterlambatan itu terjadi karena kapal sempat mengalami masalah saat melalui Tanjung Harapan.
Sejarah kolonial mencatat, bilah baling-baling kapal menghilang sebagian karena membentur objek yang tak diketahui di bawah laut. "[Hal] itu membuat kapal berkurang kecepatannya dari 11 mil/jam menjadi 8 mil/jam," imbuh Werner.
Ketika tiba beberapa mil sebelum sampai di Paramarimbo, Mijem Sarwi beserta seluruh rombongan dari Jawa dijemput oleh kapal uap kolonial Koningin Wilhelmina untuk menghindari keterlambatan transshipment dan mendarat di Paramaribo pada sore hari.
Terhitung sampai dengan Senin malam hari, segenap rombongan sampai di Paramarimbo. Kontrak kerja sebagai buruh tersebut berlaku segera setelah mereka tiba di Paramaribo.
"Itulah sebabnya Mijem Sarwi dan ibunya segera dibawa dari kota ke Aliansi perkebunan gula untuk bekerja dengan upah yang rendah dalam kondisi kerja yang sangat buruk," terusnya.
Sejarah kolonial juga mengungkap, selama Nji Sari berada di Suriname, kemungkinan bertemu dengan Matkassam yang diperkirakan oleh Werner Stauder sebagai ayah tiri Mijem Sarwi. Matkassam diperkirakan berasal dari Jawa Timur, sehingga tidak mungkin mereka menikah sebelum berangkat ke Suriname.
Werner juga memberikan historiografi kritis terhadap neneknya itu—Mijem Sarwi, nenek dari penulis, Werner Stauder—bahwa kemungkinan ibunya, Nji Sari bertemu Matkassam di perkebunan.
Diperkirakan Sarwi tidak bekerja, hanya saja catatan sejarah kolonial menyebutkan bahwa ia ikut bersama ibunya hingga ia dewasa dan melahirkan banyak keturunan di sana. Termasuk istri dari Werner Stauder yang merupakan cucu Mijem Sarwi.