Runtuhnya Peradaban Andes Akibat Tiadanya Mitigasi Perubahan Iklim

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Jumat, 16 Juni 2023 | 15:00 WIB
Peradaban Pegunungan Andes menghadapi situasi yang sulit karena perubahan iklim. Konflik merajalela, sehingga situs-situs penduduk ditinggalkan (iStock, Agustavop)

Nationalgeographic.co.id—Perubahan iklim punya dampak yang nyata bagi kehidupan manusia. Dampaknya bisa menyebabkan hilangnya sumber daya alam penting, penyakit, dan pada akhirnya memicu konflik. Oleh karena itu, kita harus berkaca ke masa lalu bahwa perubahan iklim bisa mengancam manusia.

Ancamannya bahkan bisa mengakhiri peradaban, jika tidak dipersiapkan dengan baik. Ancaman ini harus menjadi perhitungan, karena ada banyak peradaban di masa lalu yang sirna akibat perubahan iklim. Salah satunya, peradaban di Pegunungan Andes, Amerika Selatan.

Sekelompok peneliti dari University of California mengungkapkan bahwa pola kekerasan meningkat dalam sejarah peradaban di Pegunungan Andes, selama perubahan iklim di abad pertengahan. Penelitian ini menelisik perilaku sejarah dari 470 M hingga 1500 M.

Suhu meningkat, kekeringan terjadi, dan negara bagian pertama di Pegunungan Andes runtuh. Pola itu terjadi dalam jangka waktu 900 M hingga 1250 M.

"Kami menemukan bahwa penurunan curah hujan memprediksi peningkatan tingkat trauma kranial (trauma kepala)," kata Thomas Snyder, penulis utama studi yang merupakan kandidat doktor di Department of Anthropology’s Evolutionary Wing University of Calfiornia, Davis.

Dalam rilis yang dipublikasikan universitas, Snyder menjelaskan, "Pengamatan ini menunjukkan bahwa perubahan iklim dalam bentuk penurunan curah hujan memberikan dampak yang signifikan terhadap tingkat kekerasan antarpribadi di wilayah tersebut."

Snyder dan tim dalam makalah yang dipublikasikan di jurnal Quaternary Research pada 5 Juni 2023 mengungkapkan, apa yang terjadi di Pegunungan Andes adalah semakin terbatasnya sumber daya.

Kawasan di tengah hingga selatan pegunungan tersebut meningkatkan potensi persaingan, yang pada akhirnya menimbulkan kekerasan di antara penduduk saat itu.

Hal itu diungkap dari cedera kepala populasi yang tinggal di sana pada rentang waktu itu. Dari sini, para peneliti mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di sana.

Para peneliti menemukan kekerasan selama tahun-tahun awal Peradaban Andes dalam analisisnya. Data mereka mencatat setidaknya ada 3.000 patah tulang manusia yang ditemukan dalam 58 situs arkeologi di Peru, Chili, dan Bolivia.

Andes tengah selatan dan situs termasuk dalam penelitian ini. Garis kontur hadir pada 500 m dpl dan 3000 m dpl, menentukan sampel pesisir, ketinggian menengah, dan dataran tinggi. (U.S. Geological Survey, 2010/Courtesy)

Dari situ, mereka membandingkan dengan akumulasi es pada saat itu di gletser Quelccaya, sebagai penghitungan perubahan iklim yang terjadi. Dalam studinya, terjadi penurunan akumulasi es tahunan di gletser Quelccaya 10 sentimeter.

Dari waktu ke waktu, mereka mendapati situs Wari di Peru dan Tiwanaku di Kolombia, ditinggalkan oleh penduduknya. Dari sini para peneliti mendapati bahwa ada kejatuhan sosio-politik di sana seiring dengan perubahan iklim global pada masanya.

Bagi mereka, situs-situs arkeologis di Pegunungan Andes sangat memberikan peluang yang baik bagaimana peradaban manusia merespons perubahan iklim. Variabilitas iklim yang ekstrem di kawasan itu, ditambah pelestarian cagar budaya yang luar biasa, dan catatan peradaban Pegunungan Andes yang kuat, menarik sebagai penelusuran masa lalu manusia.

Hanya saja, menurut studi, bahwa kawasan peradaban di Pegunungan Andes adalah tempat yang termarjinalkan. Pasalnya, para peneliti dalam pengamatan di sekitar Pegunungan Andes, mengungkapkan bahwa situasi pada masanya berbeda dengan kawasan pesisir.

Di dataran rendah, peradaban seperti Kekaisaran Inca di Chili tidak menunjukkan adanya kekerasan. Padahal situasinya sama-sama menghadapi perubahan iklim yang nyata.

Di dataran rendah justru lebih banyak keragaman pertanian dan ekonomi, yang menjadi penopang peradaban mereka dari perubahan iklim.

“Temuan kami memperkuat gagasan bahwa orang yang tinggal di lingkungan marjinal adalah yang paling mungkin terkena dampak paling parah oleh perubahan iklim,” lanjut Snyder. “Penelitian arkeologi dapat membantu kita memprediksi cara terbaik menangani tantangan yang dihadapi oleh orang-orang dalam posisi genting dalam iklim yang berubah dengan cepat.”

Dari sejarah itu, Snyder berpendapat bahwa sangat penting bagi manusia untuk berinteraksi dengan alam dengan mempertimbangkan dampak dari tantangan perubahan iklim.

Kemampuan ini mungkin perlu dipertimbangkan oleh peradaban manusia hari ini, sebagai cara interaksi dengan iklimnya.