Nationalgeographic.co.id—Sepintas lalu, di Sabtu yang syahdu, Jonanda Fattah Anugerah, seorang guru di Surakarta, mengajak saya untuk mengunjungi satu destinasi menarik di sudut sempit Kota Surakarta.
Tempatnya terpencil dan tak diketahui sebelumnya. Rumah Budaya Kratonan, begitulah namanya. Pemandangan yang tampak dari luar adalah bangunan khas Jawa, joglo yang berdiri tegap dan menawan.
Tak sembarangan, rumah joglo di Jawa umumnya dimiliki oleh orang penting atau aristokrat Jawa yang terpandang di daerahnya. Nyatanya, bangunan Rumah Budaya Kratonan ini sebelumnya adalah rumah pribadi milik Moeljadi Djojomartono.
Moeljadi Djojomartono bukanlah orang sembarangan. Ridho Al-Hamdi menulis dalam bukunya berjudul Paradigma Politik Muhammadiyah, terbitan tahun 2020, bahwa Moeljadi (baca: Mulyadi) adalah tokoh penting Muhammadiyah.
"Sejak remaja ia telah aktif dalam Persyarikatan Muhammadiyah. Mulyadi menjadi anggota Muhammadiyah Cabang Solo," tambahnya. Ia memegang peranan penting dalam perkembangan Muhammadiyah di Surakarta.
Moeljadi merupakan seorang orator yang jenaka. Ia pernah menjadi Ketua Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) Wilayah Provinsi Jawa Tengah, bahkan merangkap sebagai anggota pengurus DPP Masjumi tahun 1947-1956.
Moeljadi juga pernah menjadi dosen Agama Islam dan Budipekerti di Akademi Militer Yogyakarta. Kariernya sebagai militer ditempuhnya sampai pada jabatan sebagai anggota Staf Gubernur Militer Surakarta dan pada tahun 1948-1949 dia ditunjuk sebagai pensihat Menteri Dalam Negeri.
Puncaknya, ia dilantik sebagai Menteri Sosial Indonesia ke-15. Meoljadi ditunjuk sebagai menteri menggantikan Rusiah Sardjono. Ia menjabat cukup singkat, yakni terhitung pada 28 Maret 1966 sampai 25 Juli 1966.
Sepak terjang Moeljadi sebagai tokoh penting bangsa tak diragukan lagi. Lantas ia membangun rumah joglo yang kokoh di sudut sempit Kota Surakarta di Jalan Manduro No.6, Kratonan, Kecamatan Serengan, Kota Surakarta, Jawa Tengah.
Setelah ditinggalkan, rumah bekas Moeljadi, mantan Menteri Sosial di era Soekarno itu akhirnya dbeli oleh istri dari mantan Ketua DPR RI Akbar Tandjung, Krisnina Maharani. Semangat budaya Krisnina diwujudkan dengan menyulap rumah joglo itu sebagai ruang edukasi sejarah Kota Surakarta.
Sekira tahun 2016, Rumah Budaya Kratonan ini diresmikan. Pada saat peresmiannya, Rumah Budaya Kratonan disaksikan oleh Akbar Tandjung, Wali Kota Solo Fx. Rudi Hadyatmo, serta mendiang ibunda Presiden RI Joko Widodo, Sudjiatmo Notomiharjo.
Terdiri dari beberapa ruang, bangunan ini memberi edukasi sejarah dari yang kompleks menuju yang spesifik. Ditampilkannya sejarah perjalanan dari revolusi industri hingga tumbuhnya kolonialisme di Indonesia, sampai pada sejarah Kota Surakarta.
Ada pula lika-liku tentang Dipanagara dan ironi penangkapannya. Selepas itu, digambarkan pula pecahnya Mataram yang dirangkum dalam penyajian materi (teks dan gambar) tentang Perjanjian Giyanti.
Masuk ke ruang yang semakin dalam, kita diajak untuk meneropong lebih jauh lagi tentang sejarah Surakarta hingga Tanam Paksa. "Ada master view, bisa lihat gambar-gambar seru buat edukasi sejarah," imbuh Jonanda saat menemani saya sembari menunjukkan media master view sejarah.
Bersama pramuwisata juga, para pengunjung dapat bertanya banyak hal yang mereka temui dalam ruang-ruang galeri. Ada juga sajian tentang perkembangan politik di Solo. Tak sedikit juga dari rombongan pengunjung yang tergelitik untuk menanyakan petihal perkembangan komunis di Solo.
Saya berpandangan bahwa setidaknya tempat yang sederhana, tetapi mampu menampilkan ragam penyajian fitur sejarah yang menarik ini, telah berhasil memercik semangat budaya dan menjadi aset edukasi sejarah bagi orang-orang yang punya keingintahuan tentang sejarah kotanya.
"Lumayan buat edukasi sejarah, saya yang secara awam jadi bisa banyak tahu tentang sejarah [Kota Surakarta]," ungkap Jonanda saat menemani langkah saya memasuki ruang demi ruang dalam Rumah Budaya Kratonan. Merogoh kocek senilai Rp25.000, kita diajak menyusuri ruang edukasi sejarah yang menarik.
Pada akhir perjalanan, terdapat perpustakaan dengan koleksi buku yang beragam. Tidak hanya buku sejarah yang sohor seperti Babad Tanah Jawa atau Max Havelaar, tetapi juga banyak novel-novel populer yang membuat banyak pengunjung bisa bersantai sembari membaca.
Satu ruang tanam paksa, melecutkan refleksi para pengunjung tentang penderitaan dan pemikiran kritis dari Edward Douwes Dekker yang menentang cultuurstelsel. Hingga penulis terpantik dengan satu ruang yang memampang pertanyaan: "Masih adakah semangat Multatuli hari ini?"
Selain menjadi ruang edukasi sejarah, Rumah Budaya Kratonan yang menampilkan suasana vintage, kerap dijadikan sebagai objek foto atau konten para pengunjung yang datang.
Banyak spot di areal Rumah Budaya Kratonan yang lantas menjadi ramai di media sosial, seperti TikTok. Para pengunjung dari kalangan millenials, sering mengambil video di sana, membuat konten, atau bersantai sembari mengambil gambar.
Meski terbilang baru, kehadiran Rumah Budaya Kratonan telah mewujudkan semangat kebudayaan dan pembacaan kembali sejarah tentang Kota Surakarta. Ia menjadi ruang edukasi sejarah bagi generasi muda yang ingin belajar tentang sejarah bangsanya.