Nationalgeographic.co.id—Waktu rotasi Bumi tidak selamanya 24 jam. Di zaman dinosaurus, tepatnya pada periode geologis—yang disebut Zaman Kapur Akhir—sekitar 100,5 juta hingga 66 juta tahun lalu, dalam sehari waktu rotasinya hanya 23 jam.
Lebih jauh lagi, atau sekitar 1,4 miliar tahun silam, Bumi justru punya waktu rotasi sekitar 18 hingga 19 jam. Temuan itu diungkap ilmuwan dalam penelitian terbaru di jurnal Nature Geoscience, 12 Juni 2023. Dalam kalender geologis, periode itu terjadi pada protorezoikum—waktu di mana eukariotik bersel satu tingkat lanjut muncul setelah Peristiwa Oksidasi Hebat.
Dari studi ini menandakan bahwa planet kita sebenarnya memiliki rotasi yang semakin lambat. Sebab menurut para peneliti, kondisi dengan 18—19 jam per hari di masa protorezoikum, Bulan lebih dekat dengan Bumi daripada hari ini.
"Seiring waktu, Bulan telah mencuri energi rotasi Bumi untuk mendorongnya ke orbit yang lebih tinggi lebih jauh dari Bumi," jelas para peneliti yang dipimpin oleh Ross Mitchell dari State Key Laboratory of Lithospheric Evolution, Institute of Geology and Geophysics, Chinese Academy of Sciences, Beijing, Tiongkok.
Bulan memang diketahui menjadi biang kerok bagi Bumi melambat waktu rotasinya. Pemahaman ini juga seperti yang dilaporkan penelitian sebelumnya, yang menunjukkan rotasi Bumi 23 jam pada 70 juta tahun silam.
Sebuah penelitian di jurnal Proceeding National Academy of Sciences (PNAS) tahun 2001 mengungkapkan, waktu sehari di planet kita lebih panjang dengan detak lebih dari 0,000015 detik per tahun.
Mitchell dan rekannya memaparkan, analisis statistik menunjukkan bahwa garis datar panjang durasi satu hari bagi Bumi pada dua hingga satu miliar tahun yang lalu, mencapai klimasknya pada suatu momen. Momen itu disebut sebagai 'Bumi Bola Salju' yang ada sebelum ledakan kehidupan periode Kambrium.
Rentang waktu itu adalah periode paling berbatu dalam sejarah planet Bumi purba. Periode ini relatif stabil, atau yang disebut juga sebagai Era Miliaran Tahun yang Membosankan dari Bumi, menurut profesor Simon Poulton dari Biogeochemistry and Earth History, University of Leeds di The Conversation.
Era Miliaran Tahun yang Membosankan menurut Poulton, masa di mana periode hanya ada sedikit yang terjadi di Bumii dalam hal evolusi biologis, iklim, atau kimiawi lautan dan atmosfernya. Namun sebenarnya, kondisinya jauh lebih dinamis untuk memulai kehidupan awal di planet Bumi menjadi sekompleks hari ini.
"Dengan latar belakang kemajuan ini, jelas juga bahwa kita baru saja mulai menyatukan sejarah misterius dari periode waktu yang menakjubkan ini," tulis Poulton.
Kembali lagi kepada kondisi Bumi yang menjadi 18—19 jam per harinya. Mitchell menjelaskan bahwa periode ini telah melewati Peristiwa Oksidasi Hebat, di mana oksigen bertambah sehingga bisa menciptakan lapisan ozon. Kondisi fluktuasi pada atmosfer awal Bumi ini signifikan pada panjangnya hari di dataran tinggi, menurut pengamatan mereka.
Dengan adanya ozon yang timbul pada periode ini, sinar matahari lebih banyak diserap daripada uap air. Hal ini memicu pasang-surut oleh matahari di atmosfer saat kondisinya memanas di siang hari.
Saat itu, gravitasi bulan lebih lemah sekitar 75 persen dibanding hari ini. Maka, pasang-surut atmosfer yang disebabkan matahari, ditambah dengan suntikan ozon dan sinar matahari, membuat kondisi Bumi menjadi stabil dengan panjang waktu 19 jam dalam satu hari.
"Pada titik resonansi, torsi pasang surut samudera dan atmosfer akan seimbang, menstabilkan laju rotasi Bumi pada panjang hari yang konstan," jelas para peneliti. Hanya saja, belum dipastikan secara tepatnya waktu periode resonansi tersebut, sehingga memerlukan pengujian lebih lanjut dan akurat.
Meski demikian, Mitchell dan rekan, berpendapat bahwa ada momen pada masa itu ketika hari jadi lebih panjang. Mereka berpendapat bahwa kenaikan kadar oksigen dan kehidupan kompleks di Bumi tertunda pada masa ini "sampai resonansinya rusak" oleh perubahan iklim yang secara tiba-tiba datang.
"Hari yang lebih panjang dapat [kemudian] memberi bakteri fotosintetik sinar matahari yang cukup untuk meningkatkan kadar oksigen yang cukup tinggi untuk mendukung kehidupan Metazoan yang besar," tulis para peneliti.