Dies Sanguinis, Festival Tertua dan Penuh Darah di Romawi Kuno

By Sysilia Tanhati, Selasa, 20 Juni 2023 | 16:00 WIB
Dies Sanguinis adalah festival tertua dan sakral dalam budaya Romawi. Festival didedikasikan untuk Dewi Bellona. (Raphael/Victoria and Albert Museum )

Dewi Bellona dipuja karena kaitannya dengan perang, pertumpahan darah, dan kekerasan di Romawi kuno. (Jean Cosyn)

Pengurbanan hewan, termasuk pengurbanan utama banteng, dilakukan di Kuil Bellona selama Dies Sanguinis. Didedikasikan untuk Bellona, kuil ini diyakini dibangun untuk memperingati kemenangan militer Romawi atas kaum Sabine.

Darah hewan kurban digunakan dalam berbagai ritual dan upacara keagamaan yang diadakan sepanjang hari. Semua ritual dan upacara itu memiliki tingkat kepentingan yang berbeda-beda.

Dies Sanguinis juga ditandai dengan kombinasi prosesi keagamaan dan militer, seperti penampilan Salii, sekelompok 12 pendeta yang membawa perisai suci dan menampilkan tarian perang. Konon, fungsi tarian itu adalah untuk menghormati Bellona dan mendemonstrasikan kekuatan militer Roma. Pertunjukan ini merupakan aspek penting dari banyak ritual kecil yang terjadi selama hari panjang pertumpahan darah.

Kebangkitan Kekristenan dan kejatuhan Dies Sanguinis

Seiring berjalannya waktu, perayaan Dies Sanguinis semakin jarang. Kemunduran ini dapat dikaitkan dengan beberapa faktor. Misalnya berkembangnya pengaruh agama Kristen di Kekaisaran Romawi serta perubahan nilai dan kepercayaan orang Romawi kuno.

Pengaruh filsafat dan agama berperan besar dalam pergeseran menuju perdamaian di Romawi kuno. Filsuf seperti Seneca dan Epictetus menekankan pentingnya kedamaian batin dan kebenaran moral atas penaklukan dan kekuasaan militer. Pada akhirnya, pandangan para filsuf itu berdampak besar pada pengikut mereka.

Penyebaran agama Kristen di Kekaisaran Romawi mempromosikan nilai-nilai cinta, kasih sayang, dan pengampunan. Ajaran itu bertentangan dengan kecenderungan militeristik dan kekerasan budaya Romawi. Banyak praktik dan kepercayaan agama Romawi tradisional dipandang sebagai pagan dan tidak sesuai dengan ajaran Kristen.

Ketika kekaisaran tumbuh lebih stabil dan aman, mereka lebih menghargai perdamaian dan kemakmuran alih-alih penaklukan militer.

Orang Romawi menyadari bahwa mereka dapat menikmati keuntungan dari ekonomi yang berkembang dan pemerintahan yang stabil. Mereka tidak perlu bergantung pada penaklukan militer untuk mempertahankan cara hidup mereka. Hal ini menyebabkan penurunan bertahap dan akhirnya menghilangnya banyak festival dan praktik keagamaan tradisional Romawi, termasuk Dies Sanguinis.

Penyebab terakhir di balik hilangnya Dies Sanguinis adalah kemunduran Kekaisaran Romawi sendiri. Saat kekaisaran makin menurun kekuasaannya, banyak praktik dan kepercayaan tradisional yang terkait dengan festival tersebut ditinggalkan.

Migrasi suku-suku Jermanik secara bertahap di bekas Kekaisaran Romawi pun turut berpengaruh pada budaya Romawi.

Dies Sanguinis pernah memiliki makna budaya dan agama yang besar di Romawi kuno. Dies Sanguinis digelar untuk menghormati militer dan menunjukkan kekuatan bela diri bangsa Romawi.

Meskipun akhirnya menghilang, warisan Dies Sanguinis yang penuh darah tetap hidup di zaman modern. Bagi para peneliti, Dies Saungunis memberikan wawasan tentang budaya dan masyarakat Romawi kuno yang kompleks dan beragam.