Dies Sanguinis, Festival Tertua dan Penuh Darah di Romawi Kuno

By Sysilia Tanhati, Selasa, 20 Juni 2023 | 16:00 WIB
Dies Sanguinis adalah festival tertua dan sakral dalam budaya Romawi. Festival didedikasikan untuk Dewi Bellona. (Raphael/Victoria and Albert Museum )

Nationalgeographic.co.id—Dies Sanguinis, yang berarti “Hari Darah” atau “Hari Pengurbanan Berdarah”, adalah hari yang intens. Meski dipenuhi dengan darah, ini adalah festival tertua dan sakral dalam budaya Romawi. Dirayakan setiap tahun pada tanggal 24 Maret, Dies Sanguinis didedikasikan untuk Dewi Bellona. Sang dewi dikenal karena kaitannya dengan perang, pertumpahan darah, dan kekerasan.

Mereka yang merayakan hari suci ini biasanya melakukan pengurbanan hewan, termasuk pengorbanan seekor lembu jantan. Pengurbanan lembu jantan tersebut dilakukan oleh pendeta Romawi di Kuil Bellona.

Tapi apa tujuan di balik ritual mengerikan itu?

Asal mula Dies Sanguinis, festival tertua di budaya Romawi

Asal muasal Dies Sanguinis yang tepat tidak sepenuhnya jelas. Pasalnya, hanya ada sedikit catatan sejarah atau laporan tentang praktik awal yang terkait dengan hari tersebut. Namun, itu diyakini sebagai salah satu festival tertua dan terpenting dalam kalender Romawi.

“Festival ini diperkirakan berasal dari masa-masa awal Republik Romawi,” tulis Lex Leigh di laman Ancient Origins.

Salah satu teori tentang asal-usul Dies Sanguinis adalah bahwa hal itu mungkin terkait dengan praktik pertanian Romawi kuno. Tanggal 24 Maret dianggap sebagai hari pertama tahun pertanian di Romawi kuno. Hari pertama ini diyakini sebagai waktu yang baik untuk memulai membajak dan menanam.

Ada kemungkinan bahwa pengurbanan dan ritual yang dilakukan pada hari tersebut dimaksudkan untuk menenangkan para dewa Romawi. Selain itu, kurban juga dipersembahkan demi kesuksesan musim tanam.

Yang diketahui para peneliti adalah bahwa asal-usul Dies Sanguinis terkait dengan militer Romawi awal. Bellona, dewi perang yang dihormati di masa itu, diyakini sebagai tokoh sentral prajurit Romawi. Sang dewi mungkin disembah untuk memastikan keberhasilan militer dan kemenangan dalam pertempuran. Dengan memberinya darah hewan kurban, orang Romawi akan percaya bahwa dia akan menjamin darah musuh mereka.

Mungkin juga hari Dies Sanguinis hanyalah cara bagi Romawi untuk menunjukkan komitmennya terhadap kekuatan militer dan agresi. “Juga untuk memperkuat gagasan Romawi sebagai bangsa pejuang,” Leigh menambahkan lagi.

Makna pengurbanan darah dan jati diri bangsa dalam Dies Sanguinis

Dies Sanguinis adalah festival yang sangat penting bagi militer Romawi. Hari suci ini biasanya digunakan untuk menghormati tentara Romawi dan menunjukkan komitmen rakyat Romawi untuk menang dalam perang. Ini juga merupakan hari penting untuk perekrutan militer dan sumpah setia kepada republik atau kekaisaran.

Dewi Bellona dipuja karena kaitannya dengan perang, pertumpahan darah, dan kekerasan di Romawi kuno. (Jean Cosyn)

Pengurbanan hewan, termasuk pengurbanan utama banteng, dilakukan di Kuil Bellona selama Dies Sanguinis. Didedikasikan untuk Bellona, kuil ini diyakini dibangun untuk memperingati kemenangan militer Romawi atas kaum Sabine.

Darah hewan kurban digunakan dalam berbagai ritual dan upacara keagamaan yang diadakan sepanjang hari. Semua ritual dan upacara itu memiliki tingkat kepentingan yang berbeda-beda.

Dies Sanguinis juga ditandai dengan kombinasi prosesi keagamaan dan militer, seperti penampilan Salii, sekelompok 12 pendeta yang membawa perisai suci dan menampilkan tarian perang. Konon, fungsi tarian itu adalah untuk menghormati Bellona dan mendemonstrasikan kekuatan militer Roma. Pertunjukan ini merupakan aspek penting dari banyak ritual kecil yang terjadi selama hari panjang pertumpahan darah.

Kebangkitan Kekristenan dan kejatuhan Dies Sanguinis

Seiring berjalannya waktu, perayaan Dies Sanguinis semakin jarang. Kemunduran ini dapat dikaitkan dengan beberapa faktor. Misalnya berkembangnya pengaruh agama Kristen di Kekaisaran Romawi serta perubahan nilai dan kepercayaan orang Romawi kuno.

Pengaruh filsafat dan agama berperan besar dalam pergeseran menuju perdamaian di Romawi kuno. Filsuf seperti Seneca dan Epictetus menekankan pentingnya kedamaian batin dan kebenaran moral atas penaklukan dan kekuasaan militer. Pada akhirnya, pandangan para filsuf itu berdampak besar pada pengikut mereka.

Penyebaran agama Kristen di Kekaisaran Romawi mempromosikan nilai-nilai cinta, kasih sayang, dan pengampunan. Ajaran itu bertentangan dengan kecenderungan militeristik dan kekerasan budaya Romawi. Banyak praktik dan kepercayaan agama Romawi tradisional dipandang sebagai pagan dan tidak sesuai dengan ajaran Kristen.

Ketika kekaisaran tumbuh lebih stabil dan aman, mereka lebih menghargai perdamaian dan kemakmuran alih-alih penaklukan militer.

Orang Romawi menyadari bahwa mereka dapat menikmati keuntungan dari ekonomi yang berkembang dan pemerintahan yang stabil. Mereka tidak perlu bergantung pada penaklukan militer untuk mempertahankan cara hidup mereka. Hal ini menyebabkan penurunan bertahap dan akhirnya menghilangnya banyak festival dan praktik keagamaan tradisional Romawi, termasuk Dies Sanguinis.

Penyebab terakhir di balik hilangnya Dies Sanguinis adalah kemunduran Kekaisaran Romawi sendiri. Saat kekaisaran makin menurun kekuasaannya, banyak praktik dan kepercayaan tradisional yang terkait dengan festival tersebut ditinggalkan.

Migrasi suku-suku Jermanik secara bertahap di bekas Kekaisaran Romawi pun turut berpengaruh pada budaya Romawi.

Dies Sanguinis pernah memiliki makna budaya dan agama yang besar di Romawi kuno. Dies Sanguinis digelar untuk menghormati militer dan menunjukkan kekuatan bela diri bangsa Romawi.

Meskipun akhirnya menghilang, warisan Dies Sanguinis yang penuh darah tetap hidup di zaman modern. Bagi para peneliti, Dies Saungunis memberikan wawasan tentang budaya dan masyarakat Romawi kuno yang kompleks dan beragam.