Salah satu tradisi Tionghoa Lasem ini merupakan tradisi masyarakat Lasem yang memiliki efek berganda (multiplier effect). "Kalau tradisi, selama masih ada komunitas yang menjalankannya ya akan memberikan insentif ekonomi bagi pelaku-pelakunya. Untuk pembuat bakcang, pemilik perahu, pengelola tempat kegiatan lomban, pelaku UMKM dan lainnya. Apalagi acaranya hanya digelar setahun sekali, pasti unik, bisa menarik untuk komunitasnya dan orang-orang yang ingin merasakan pengalaman Lomban di Lasem," pungkas Agik.
Di masa lalu, ratusan warga Tionghoa plesir ke pantai setiap perayaan Pekcun yang jatuh pada tanggal 5 bulan 5 penanggalan bulan (Imlek), biasanya jatuh pada bulan Juni kalender Gregorian.
Di negara asalnya tradisi ini erat hubungannya dengan kisah sejarah Tiongkok tentang seorang tokoh bernama Qu Yuan (340 SM–278 SM) seorang Menteri di Negara Chu pada masa Negara Berperang (476 SM-221 SM) yang kemudian diasingkan.
Qu Yuan kemudian menulis puisi-puisi lambang patriotisme dan dikumpulkan dalam kumpulan Puisi Negara Chu (Chuci). Pada masa pengasingan tahun 278 SM, ia lalu menenggelamkan diri di Sungai Miluo. Ia bunuh diri memprotes praktik korupsi di negaranya.
Ia begitu dicintai rakyat, ketika ia tenggelam, penduduk desa pergi mencari tubuhnya di sungai menggunakan perahu-perahu sambil menabuh tetabuhan untuk menakut-nakuti ikan karnivor dan roh-roh jahat agar tubuh Qu Yuan tidak diganggu.
Mereka juga melempar masakan beras berbungkus daun bambu (bakcang) ke dalam sungai yang dimaksudkan sebagai persembahan untuk Qu Yuan. Semenjak itu muncullah tradisi perayaan makan bakcang dan lomba perahu naga.
Semangat perayaan Pekcun di Nusantara beragam wujudnya. Mulai dari perlombaan perahu naga hingga acara lomban. Masing-masing komunitas Tionghoa di Nusantara memiliki preferensi perayaan makan kue bakcang sendiri-sendiri dan unik, termasuk di Lasem. Sampai jumpa pada perayaan Lomban Lasem tahun 2024!