Perayaan Pehcun di Lasem: Sempat Mati Suri, Lomban Hidup Kembali

By Agni Malagina, Kamis, 22 Juni 2023 | 17:30 WIB
Sujarwo menegakkan telur di atas permukaan tanah dalam perayaan Pehcun di Pantai Dasun Lasem. (Agni Malagina)

Nationalgeographic.co.id - Lomban Pehcun Lasem, sebuah tradisi piknik di tepi pantai bersama keluarga pada saat perayaan Pekcun di Lasem Jawa Tengah sempat mati suri kini hidup kembali. Sebuah perayaan kecil diselenggarakan bersama warga Tionghoa Lasem—Merry Purnomo dan Ekawatiningsih, para peneliti, komunitas muda kreatif Yayasan Lasem Heritage dan warga Desa Dasun.

“Hari ini pas hari raya Pehcun, makan bakcang. Dulu kita ya ada acara Lomban. Setiap perayaan, pasti keluarga-keluarga ke pantai Gedong [Gedongmulyo], gelar tikar, pasang tenda, makan-makan plesir,” kenang Oma Merry Purnomo seorang warga Lasem senior sekaligus pemilik rumah batik Purnomo yang diamini oleh Ekawatiningsih pemilik rumah batik Lumintu Lasem.

“Iya, dulu ramai sekali! Banyak warga Lasem juga jualan makanan, ramai. Sampai sore. Banyak keluarga besar sampai pasang tenda, menggelar tikar menghidangkan aneka makanan. Lalu naik kapal juga,” tambah Eka.

Tahun 1990-an menjelang tahun 2000-an, merupakan masa akhir ramainya perayaan lomban setiap hari raya Bakcang di Lasem. Beragam kenangan warga Lasem pada acara lomban menggambarkan bagaimana warga Tionghoa Lasem menjadikan momen Festival Duanwujie atau yang dikenal Hari Raya Pekcun sebagai ajang kumpul keluarga, berpiknik di pantai dan makan bakcang dan kuliner khas lainnya.

“Dulu mulai pagi-pagi, pasti ramai. Selesai sembahyang di rumah atau kelenteng, orang-orang keluarga-keluarga pada naik dokar ke pantai. Bawa makanan, bakcang, kue-kue, masakan lengkap. Nanti main di pantai dari pagi sampai sore,” ujar Iwing, penggiat di Kelenteng Cuankiong, Lasem.

“Sembahyang bakcang sangat sederhana, hanya menyajikan bakcang dan kuecang di altar,” ujar Iwing. Emak Tjoe, panggilan juru masak masakan sembahyangan menambahkan, ”sajiannya ya hanya bakcang dan kuecang dengan gula aren. Simbol yin yang. Kuecang dengan gula aren itu simbol yin, bakcang simbol yang.”

Lomban dalam konsep kebudayaan Tionghoa Lasem merupakan acara piknik plesir di pantai sambil menikmati bakcang. Sedangkan bagi masyarakat pesisir, lomban bermakna tak hanya plesiran, tetapi juga perayaan sukacita dengan ritual, naik perahu, dan memberikan sedekah untuk alam semesta.

“Tradisi yang lama mati, hidup kembali. Senang sekali kita bisa bersama merayakan, walaupun sederhana. Makan bakcang isi daging ayam buatan Mak Liem dari Desa Karangturi. Semoga lomban ini bisa hadir kembali bersama kita di tahun yang akan datang. Karena ini tradisi baik. Menghargai budaya dan alam. Insentif ekonomi untuk warga,” ujar Suwargi (Agik) pendiri Yayasan Lasem Heritage.

“Lomban pesisiran seperti sedekah laut, contohnya. Makna lomban sendiri ya plesiran di pantai, main air atau naik perahu ke laut untuk berwisata,” ujar Sujarwo, Kepala Desa Dasun yang menyambut komunitas merayakan perayaan Pekcun di Pantai Dasun.

Kisah mengenang Lomban Lasem masa lalu disampaikan oleh Merry Purnomo kepada komunitas yang turut merayakan Pehcun di Lasem. (Agni Malagina)

“Tahun depan kita berencana membuat kegiatan Lomban Pekcun Lasem bersama. Bancang, Bandeng Ba(k)cang. Ba(k)cang dengan isian bandeng akan kami sajikan untuk Lomban tahun 2024!” jelas Sujarwo, yang mengharapkan kerjasama komunitas untuk menyelenggarakan kegiatan tradisi masyarakat Lasem ini. Sujarwo pun berkomitmen untuk merapikan sarana prasarana Dasun agar ramah pengguna atau tamu yang datang.

“Kita sepakat mengadakan Lomban dengan makan sajian bakcang isi olahan bandeng khas Dasun. Kearifan lokal dan tradisi, ini kekuatan komunitas gotong-royong. Yang melestarikan budaya siapa lagi jika bukan kita bersama. Tradisi Tionghoa Lasem ya tradisi Lasem, sama-sama tradisi yang kita hormati sebagai kekayaan budaya Lasem, apalagi kita menuju Kawasan Cagar Budaya Nasional,” tegas Agik.

Salah satu tradisi Tionghoa Lasem ini merupakan tradisi masyarakat Lasem yang memiliki efek berganda (multiplier effect). "Kalau tradisi, selama masih ada komunitas yang menjalankannya ya akan memberikan insentif ekonomi bagi pelaku-pelakunya. Untuk pembuat bakcang, pemilik perahu, pengelola tempat kegiatan lomban, pelaku UMKM dan lainnya. Apalagi acaranya hanya digelar setahun sekali, pasti unik, bisa menarik untuk komunitasnya dan orang-orang yang ingin merasakan pengalaman Lomban di Lasem," pungkas Agik.

Di masa lalu, ratusan warga Tionghoa plesir ke pantai setiap perayaan Pekcun yang jatuh pada tanggal 5 bulan 5 penanggalan bulan (Imlek), biasanya jatuh pada bulan Juni kalender Gregorian.

Di negara asalnya tradisi ini erat hubungannya dengan kisah sejarah Tiongkok tentang seorang tokoh bernama Qu Yuan (340 SM–278 SM) seorang Menteri di Negara Chu pada masa Negara Berperang (476 SM-221 SM) yang kemudian diasingkan.

Qu Yuan kemudian menulis puisi-puisi lambang patriotisme dan dikumpulkan dalam kumpulan Puisi Negara Chu (Chuci). Pada masa pengasingan tahun 278 SM, ia lalu menenggelamkan diri di Sungai Miluo. Ia bunuh diri memprotes praktik korupsi di negaranya.

Ia begitu dicintai rakyat, ketika ia tenggelam, penduduk desa pergi mencari tubuhnya di sungai menggunakan perahu-perahu sambil menabuh tetabuhan untuk menakut-nakuti ikan karnivor dan roh-roh jahat agar tubuh Qu Yuan tidak diganggu.

Mereka juga melempar masakan beras berbungkus daun bambu (bakcang) ke dalam sungai yang dimaksudkan sebagai persembahan untuk Qu Yuan. Semenjak itu muncullah tradisi perayaan makan bakcang dan lomba perahu naga.

Semangat perayaan Pekcun di Nusantara beragam wujudnya. Mulai dari perlombaan perahu naga hingga acara lomban. Masing-masing komunitas Tionghoa di Nusantara memiliki preferensi perayaan makan kue bakcang sendiri-sendiri dan unik, termasuk di Lasem. Sampai jumpa pada perayaan Lomban Lasem tahun 2024!