Mitologi Jepang: Kisah Minamoto no Yorimitsu Melawan Shuten Doji

By Tri Wahyu Prasetyo, Jumat, 23 Juni 2023 | 10:00 WIB
Shuten Doji di Oeyama. (Utagawa Yoshitsuya)

Nationalgeographic.co.id - Jika Anda merupakan seorang pejabat politik pada periode Heian Jepang dan memiliki seorang putri, bersiaplah menghadapi teror Shuten Doji. Jika lengah, bisa saja putri Anda menjadi hidangan sang penguasa iblis.

Dalam mitologi Jepang, Shuten Doji digambarkan sebagai penguasa iblis yang keji. Ia bersama pengikutnya sering menculik wanita muda di jalanan yang saat itu merupakan ibu kota Kyoto.

Kisah Shuten Doji diceritakan dengan sederhana dan cukup klise: kebaikan vs kejahatan. Namun menariknya, kisah Shuten Doji memadukan kengerian dengan hal-hal aneh, yang menjadikannya alegori beralur mengejutkan.

“Kisah Shuten Doji memadukan sesuatu yang mengerikan dengan hal yang aneh serta yang biasa dengan yang surealis,” tulis Richard Milner, pada laman rabbtitholemag.

Alkisah, Selama periode Heian Jepang (784-1185 M), hiduplah Raiko alias Minamoto no Yorimitsu. Ia merupakan seorang pendekar yang sangat terampil.

Pada masa ini, berkembang legenda tentang sosok mengerikan yang meneror ibu kota Kyoto dari sarangnya di Gunung Oe. 

Makhluk itu dijuluki Shuten Doji ("Bocah Pemabuk") karena dia diduga peminum berat dan liar. Ia memimpin kader penjahat, orang terbuang, dan orang tercela yang pada akhirnya melakukan penculikan terhadap wanita dari Kyoto

Salah satu target utama dari Shuten Doji beserta gerombolannya adalah putri dari para politisi lokal. Konon, para korban yang berhasil tertangkap akan dipotong-potong dan dijadikan santapan.

Gulungan gambar Shuten-doji, yang menceritakan legenda Oeyama Shuten-doji. (Public Domain/ Wikimedia Commons)

Raiko dikirim untuk menyerang Shuten Doji. Dengan kecerdikannya, ia menyamar sebagai biksu agar dapat menembus benteng Suten Doji. Agaknya, mereka yang datang sebagai biksu tidak akan diserang.

Dalam perjalanannya mendaki gunung yang tidak gampang, Raiko beserta rombonganya bertemu dengan tiga orang tua. Mereka memberi tahu Raiko kiat sukses menembus benteng dan membunuh Shuten Doji. 

Setibanya di markas Shuten Doji, Raiko disambut dan dijamu oleh sang penguasa iblis.  Saat makan malam, mereka diberi daging manusia untuk dimakan. Mungkin ini merupakan sebuah ujian (para biksu adalah vegetarian yang ketat).

Alih-alih menolak, Raiko dan anak buahnya dengan senang hati menikmati makanan tersebut. Ia mengatakan bahwa sektenya mengizinkan makan daging.

Pada saat yang sama, Shuten Doji dan anak buahnya meminum sake yang diberikan oleh Raiko–sake ini merupakan pemberian dari tiga orang tua yang sebelumnya ditemui Raiko.

Kala menenggak sake Shuten Doji menjadi “gacor”. Ia berbicara tentang masa mudanya, mengatakan bahwa ia dulunya adalah seorang manusia. 

“Ada beberapa variasi cerita pada saat ini, tetapi versi yang paling populer adalah bahwa Shuten Doji berlatih di kuil, tidak bergaul dengan teman-temannya, pemabuk, dan senang mengenakan topeng untuk menakut-nakuti orang,” jelas Richard.

“Tampaknya, hanya itu yang diperlukan untuk menjadi iblis, karena seiring berjalannya waktu, topeng itu menyatu dengan wajahnya.”

Singkat cerita, Shuten Doji melarikan diri ke hutan, ia sedikit demi sedikit mengumpulkan sekelompok orang untuk menjadi pasukannya.

Sementara itu, Shuten Doji terus mengatakan bahwa setan tidak berbohong. Hanya manusia yang berbohong. 

Akhirnya, Shuten Doji dan pasukannya pergi tidur. Mereka mempersilahkan Raiko dan kelompoknya untuk menginap. 

Ketika Shuten Doji sedang terlelap, Raiko masuk ke kamarnya mengenakan pelindung kepala ajaib dan dengan kejinya memenggal kepala Shuten Doji.

Kepala itu memekik dan terbang ke udara, berubah menjadi bentuk aslinya yang bertanduk. Tidak menyerah, kepala itu justru menyerang terbang ke arah Raiko, menggertakkan gigi, tetapi hanya memantul dari tutup kepala pelindung Raiko dan jatuh ke lantai.

Dalam pergolakan kematiannya, kepala Shuten Dōji mengulangi bahwa “tidak seperti manusia, setan tidak berbohong,” dan berakhir. 

Dengan penuh kemenangan, Raiko dan anak buahnya mengembalikan para tawanan yang tidak dimakan kembali ke Kyoto. Mereka mendapatkan hadiah berupa uang dan beberapa wanita.

Menurut Richard, kisah Shuten Doji adalah salah satu kisah paling ikonik di Jepang. “Kisah ini telah dikatalogkan dalam cetakan balok kayu yang disimpan di British Museum, Smithsonian, dan Met,” terang Richard.

Karakter Shuten Doji juga telah digunakan di berbagai gim video, anime, dan permainan kartu. Bahkan, terdapat sebuah tempat di Jepang yang dinamai sesuai dengan nama penguasa iblis itu.

Kisah Shuten Doji juga telah didekonstruksi dalam artikel-artikel akademis, “sebagai kisah peringatan tentang penyalahgunaan alkohol atau sebagai gambaran bangsawan Jepang abad pertengahan.”

Richard menjelaskan, bahwa ada yang berpendapat kisah Shuten Doji adalah sebuah sindiran cerdas terhadap aristokrasi pada masa itu.

Shuten Doji bukanlah monster yang memangsa orang yang tak berdaya–mereka yang dimangsanya adalah keturunan orang yang sombong dan memiliki hak istimewa. 

“Dia mewakili anggota masyarakat Jepang yang terpinggirkan, atau setidaknya mereka yang cukup berani untuk tidak berbohong tentang keinginan mereka yang sebenarnya,” jelas Richard.