Memuliakan Durian dan Kopi, Hasil Alam Lestari dari Kabupaten Sigi

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Jumat, 23 Juni 2023 | 07:37 WIB
Di Desa Dombu, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, umumnya kopi yang ditanam oleh warga adalah varietas robusta. Namun, karena musim panennya yang jarang dan perubahan iklim, pegiat kopi bernama Ismael memulai budidaya varietas arabika. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

Durian lokal khas Sigi atau njappo, bentuknya lebih kecil daripada durian montong. Pohonnya dijaga oleh peraturan adat karena kepercayaan mereka mengharuskan menghormati semua makhluk hidup. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

Meski demikian, pendekatan menikmati kopi dan durian sekaligus adalah gaya bersantai ala orang Sigi. Ketua Majelis Adat Kecamatan Marawola Barat Andi Lasippi mengatakan, karena masyarakat, khususnya suku Kaili sangat terbuka akan perubahan, sehingga melakukan pelbagai inovasi, salah satunya pada durian.

Durian khas Sigi tumbuh subur di pegunungan. Tidak hanya dibudidayakan warga, durian lokal khas Sigi―mereka menyebutnya durian njappo―tumbuh secara liar. Oleh masyarakat, ketika hendak membuka lahan, biasanya pohon durian tidak ditebang agar terus memproduksi buah. 

"Sehingga disebutnya durian lokal, njappo yang artinya asli. Orang-orang bisa konsumsi, makan, masak, yang mau juga bisa dibuat sayur, sekarang sudah punya nilai jual, terus dibiak, dilestarikan atau dikembangkan," kata Andi. Penjualan durian tidak hanya buahnya, tetapi juga benihnya.

Durian lokal di Sigi lebih kecil dan kulitnya lebih tebal dibandingkan durian montong, tetapi rasanya manis. Ketika matang di kebun, durian langsung jatuh dari pohon, bukan "dipaksa jatuh seperti durian lain," terang Andi.

Hedy (32 tahun) merupakan salah satu pegiat budi daya durian Marawola Barat, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Hasil buahnya dikumpulkan ke pengepul untuk dijual di pasar, bahkan sampai keluar Pulau Sulawesi. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Durian pun dimuliakan oleh masyarakat suku Kaili. Pohon durian dianggap sebagai makhluk hidup dan tidak boleh ditebang secara sembarangan.

"Sehingga, sampai sekarang dilestarikan. Bukan hanya dipetik tetapi juga di-giwu, didenda. Satu pohon ditebang bisa [dikenakan] delapan dulang karena pohon juga kehidupan, toh? Pohon adalah kehidupan," terang Andi.

Mereka punya kepercayaan bahwa durian diperkenalkan oleh makhluk mitologi. "Dulu kita belum kenal [durian], apa itu bisa dimakan atau tidak, itu pertama sekali. Lalu oleh seekor kuda, dibawa ke masyarakat. Dia makan," tutur Andi.

Kuda itu adalah salah satu penjelmaan Dompe, makhluk astral yang memberi petunjuk bagi masyarakat Kaili. Masyarakat mempelajari bahwa durian ternyata bisa dimakan. Sejak saat itulah, durian pun dikonsumsi. "Mungkin dulu melihat durian―kulitnya berduri, tetapi ternyata ini banyak sekali manfaatnya. Selain dimakan mentah, dimasak," lanjutnya.

Hampir semua masyarakat desa di Kecamatan Marawola Barat memiliki kebun durian. Walau masyarakat membudidayakan tanaman lain seperti kopi, durian adalah tanaman utamanya di kebun. Andi berani yakin, walaupun ada yang membeli benih durian khas Sigi dan ditanam di tempat lain, rasa buahnya tidak akan seenak di sini.