Nationalgeographic.co.id – Ada komunitas besar keturunan Indonesia, lebih spesifiknya orang Jawa, yang tinggal di Suriname di utara benua Amerika Selatan. Suriname adalah wilayah bekas koloni Belanda.
Kini Suriname adalah negara multikultural yang dinamis yang terletak di utara Brasil di pantai Karibia. Tercatat, lebih dari 70.000 'orang Jawa' tinggal di Suriname.
Meski telah berada di sana selama beberapa generasi, banyak dari mereka yang masih mengidentifikasi diri sebagai orang Jawa. Mereka bangga sebagai orang Jawa meski sangat sedikit dari mereka yang pernah mengunjungi pulau Jawa atau mempertahankan hubungan keluarga di sana. Meski demikian, mereka tetap berbicara bahasa Jawa versi kreol. Selain itu, nama Jawa muncul di semua lapisan masyarakat dan elemen budaya Jawa (seperti masakan) telah mempengaruhi budaya bangsa Karibia ini.
Mengapa puluhan ribu orang keturunan Jawa tinggal di Suriname? Dikutip dari Inside Indonesia, itu semua berkaitan dengan penghapusan perbudakan dan pentingnya sistem perkebunan di koloni ini.
Pada tahun 1863, pemerintah Belanda membebaskan lebih dari 33.000 budak di Suriname. Setelah penghapusan ini, pihak berwenang mengikuti koloni Karibia lainnya dengan mengimpor pekerja kontrak dari British India untuk memasok perkebunan dengan tenaga kerja murah dan patuh.
Kontrak lima tahun tersebut merinci hak dan kewajiban para pemegang kontrak. Hal yang penting bagi sistem kerja kontrak adalah skema yang disebut sanksi pidana, yang memberikan hak kepada pemberi kerja untuk mengajukan tuntutan pidana terhadap pekerja kontrak yang melanggar kontrak kerja mereka.
Antara tahun 1873 dan 1916 lebih dari 34.000 orang India datang ke Suriname. Namun, segera muncul keraguan tentang sumber kerja kontrak ini.
Masalah utamanya adalah bahwa imigran British India tetap menjadi warga negara asing, dan oleh karena itu sebagian besar penduduk Suriname akan segera menjadi orang Inggris.
Selain itu, subjek ini dapat mengajukan banding atas keputusan otoritas tertinggi Belanda dan meminta bantuan dari konsul Inggris, yang tidak akan meningkatkan kepatuhan angkatan kerja.
Kekhawatiran tambahan adalah ketergantungan pada negara asing untuk tenaga kerja dan gerakan nasionalis yang berkembang di India, yang dengan keras menyerang sistem migrasi kontrak. Memang, di India sistem itu dihapuskan pada tahun 1916.
Beralih ke Jawa
Jawa dianggap sebagai sumber tenaga kerja alternatif. Upaya awal untuk mengimpor orang dari Jawa sia-sia karena pemerintah Belanda tidak mengizinkan migrasi orang Jawa ketika ada kemungkinan memperoleh tenaga kerja di India. Namun gerakan merekrut orang Jawa memperoleh kekuatan pada tahun 1880-an karena perubahan iklim politik di India. Keuntungan lain adalah bahwa Belanda sendiri akan mengendalikan proses perekrutan dan imigrasi dan tidak harus bersaing dengan negara-negara perekrutan lainnya, seperti yang terjadi di India.