Menteri kolonial Belanda keberatan dengan emigrasi dari Jawa hingga akhir tahun 1887. Setelah proses lobi berat dari para pengusaha perkebunan dan pejabat Suriname, pemerintah akhirnya memutuskan untuk mengizinkan percobaan pertama dengan seratus migran kontrak Jawa pada tahun 1890.
Meskipun ada keraguan tentang kekuatan fisik para buruh baru, migrasi Jawa ke Suriname kemudian diizinkan. Secara total, hampir 33.000 orang Jawa bermigrasi ke Suriname pada periode 1890-1939. Jawa Tengah dan daerah dekat Batavia (Jakarta), Surabaya dan Semarang menjadi daerah perekrutan utama.
Hanya 20 hingga 25 persen migran Jawa yang kembali ke negara asalnya sebelum Perang Dunia II. Sebagian besar imigran menetap secara permanen di Suriname.
Para migran ditugaskan ke perkebunan. Menurut kontrak, perkebunan harus menyediakan perumahan gratis bagi buruh kontraknya. Namun, kualitas perumahan yang diberikan seringkali di bawah standar.
Pejabat Hindia Belanda H. van Vleuten, yang mengunjungi Suriname pada tahun 1909 untuk menyelidiki kondisi hidup dan kerja orang Jawa, melaporkan bahwa kehidupan rumah tangga para imigran Jawa tampak baginya "agak menyedihkan". Sebagian besar kamar 'memberikan kesan kemiskinan yang parah pada penghuninya'.
Kontrak kerja untuk orang Jawa di Suriname menetapkan upah laki-laki dan perempuan. Namun, kenyataannya, sebagian besar pekerja kontrak menunjukkan bahwa mereka tidak mendapatkan upah yang tercantum.
Van Vleuten menyimpulkan bahwa "upah rata-rata yang diperoleh buruh kontrak jauh di bawah upah minimum." Dia berargumen bahwa penghasilannya terlalu rendah untuk mencari nafkah di koloni semahal Suriname.
Di samping masalah-masalah material tersebut, orang Jawa juga harus menghadapi penyesuaian terhadap kehidupan baru, pola makan, dan rezim kerja di lingkungan yang sering kali tidak bersahabat. Tidak mengherankan, kerinduan melanda banyak migran.
Keinginan untuk kembali ke Jawa berfungsi sebagai bentuk pelarian. Pelarian ini dan teknik lainnya, seperti pura-pura sakit, berfungsi sebagai bentuk protes tersembunyi terhadap sistem kontrak kerja.
Tradisi budaya Jawa di Suriname terbukti bertahan kuat, meski perubahan dan adaptasi di Suriname, misalnya dalam bahasa, tak terelakkan. Namun generasi kedua dan selanjutnya masih mengidentifikasi diri mereka dengan negara asal mereka.
Pemerintah Suriname juga aktif mempromosikan kelangsungan budaya Jawa pada masa sebelum Perang Dunia II. Pada tahun 1930-an, gubernur memprakarsai proyek untuk mengisi koloni dengan petani kecil Jawa, yang akan menetap di desa-desa bergaya Jawa lengkap dengan kepemimpinan agama dan sipil mereka sendiri.
Program ini berlangsung singkat, terhenti karena adanya Perang Dunia II. Setelah perang, lanskap politik yang berubah memungkinkan pembentukan partai politik di Suriname.