Ketika Kuniyoshi meninggal pada tahun 1861, Yoshitoshi yang berusia 21 tahun belum sempat mendirikan rumah produksi seninya sendiri. Sementara itu, kekacaun mencapai puncaknya.
Setelah dibukanya perbatasan, inflasi dan pengangguran meroket. Wabah penyakit juga turut memperkeruh seluruh negeri. Ratusan ribu orang meninggal karena kolera pada tahun 1858, dua kali lebih banyak dari wabah campak tahun 1862.
Orang-orang Barat disalahkan atas hal ini dan sentimen anti-Barat pun melonjak. Para pemberontak mulai membunuh orang asing. Para pembunuh, pada gilirannya, menghadapi hukuman mati.
Selama tahun-tahun yang penuh kegelisahan ini, Yoshitoshi bergabung dalam kerumunan orang di tempat eksekusi, “melanjutkan praktik gurunya dalam membuat sketsa dari kehidupan ... atau, dalam hal ini, kematian,” jelas Eve.
Ada banyak adegan yang bisa disaksikan. Seorang samurai menusukkan pisau ke perutnya sendiri ketika diperintahkan. Yang lain digantung atau disalibkan. Akan tetapi pemenggalan kepala dengan cara kuno lebih menjadi favorit karena kesederhanaannya.
Ditambah lagi, kepala yang terpenggal merupakan alat pencegah atau peringatan yang lebih praktis, mudah dipamerkan dan diarak keliling kota; 123 kepala yang terpenggal dipajang di Edo antara tahun 1862 dan 1865.
Perjalanan Yoshitoshi dalam Melukis Kekerasan.
Buah observasi Yoshitoshi selama berada di lokasi eksekusi dapat disaksikan dalam karyanya, “28 Pembunuhan Terkenal dengan Sajak” (1866-1867). Ia menyelesaikannya bersama salah satu murid lama Kuniyoshi, Utagawa Yoshiiku.
“Kisah-kisah yang digambarkan dalam seri ini diambil dari sejarah, legenda populer, dan teater kabuki,” jelas Eve.
Karya bertajuk “Fukuoka Mitsugi dengan Kertas Terbang, Kepala Terputus”, adalah salah satu bagian dari serinya. Karya tersebut merekam kisah nyata pembunuhan di rumah teh Aburaya tahun 1796.
Eve menceritakan, bahwa sosok di dalam karya tersebut adalah seorang dokter berusia 27 tahun. Ia membunuh tiga orang dan melukai enam orang, lantaran terbakar api cemburu.