Sejarah Abad Pertengahan: Hak Wanita Terbatas, Harapan Hidup Rendah

By Hanny Nur Fadhilah, Senin, 26 Juni 2023 | 07:00 WIB
Kehamilan dan persalinan sangat mengerikan dalam sejarah Abad Pertengahan. (Medievalists)

Nationalgeographic.co.id – Kehidupan di Abad Pertengahan begitu mengerikan. Hal ini terungkap melalui banyak catatan sejarah Abad Pertengahan. Mulai dari kelaparan, penyakit, kekacauan masyarakat hingga tidak adilnya kehidupan para wanita.

Wabah Penyakit

Pada tahun 1347, wabah pes—yang kemudian dikenal sebagai Black Death atau Kematian Hitam—tiba di Eropa. Wabah tersebut menyebabkan kehancuran besar karena merenggut nyawa jutaan orang.

Sejarawan sekarang memperkirakan bahwa sekitar 20 juta orang meninggal karena penyakit itu. Pada awalnya jumlah orang di Eropa tidak sebanyak sekarang.

Hanya dalam beberapa tahun, hampir separuh penduduk Eropa musnah. Black Death adalah pembunuh tanpa ampun dalam sejarah Abad Pertengahan.

Orang akan tidur dengan sehat di malam hari, bangun dengan sakit parah di pagi hari, dan meninggal dengan cara yang menyakitkan selama beberapa hari berikutnya. Penyakit tersebut tidak membeda-bedakan antara yang kaya maupun miskin, dan itu kejam.

Faktanya, para ilmuwan sekarang memperkirakan bahwa hanya sekitar 10% dari mereka yang tertular penyakit tersebut yang berhasil bertahan hidup. Keluarga hancur, dan seluruh kota hampir terhapus dari peta.

Kesengsaraan bagi Wanita

Dalam catatan sejarah Abad Pertengahan, kehidupan para wanita mengalami ketidakadilan dalam banyak hal. Selama berabad-abad, mereka terjebak dalam masyarakat yang didominasi laki-laki.

Pada masa itu, hak perempuan sangat terbatas. Sampai mereka menikah, mereka pada dasarnya adalah milik ayah mereka. Begitu mereka menikah, kepemilikan mereka akan berpindah ke suami.

Jika seorang wanita diserang, dilukai, atau dibunuh, fokusnya sering kali tertuju pada suaminya sebagai korban yang malang. Hal itu karena suami sebagai pihak yang menderita kerugian atau kerusakan istri sebagai hak milik.

Wanita hanya dipandang bertugas sebagai pengasuh anak. Namun, ada juga para wanita yang bekerja sebagai petani perempuan. Sayangnya, mereka menerima gaji yang jauh lebih rendah daripada laki-laki, meskipun melakukan pekerjaan yang sama.