Mencegah Dampak Bencana, Komunitas Sigi Ajak Berkaca pada Tradisi

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Senin, 26 Juni 2023 | 20:35 WIB
Kegiatan bincang komunitas bertajuk 'Kembali ke Budaya dan Tradisi untuk Sigi Tangguh Bencana' di Taman Taiganja sebagai rangkaian Festival Lestari. Lewat bincang ini, para komunitas mengajak kembali masyarakat melihat tradisi kearifan lokal tentang mitigasi bencana yang sempat terlupa. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.id—Gempa dan tsunami yang menerpa Sulawesi Tengah tahun 2018, menumbuhkan kesadaran akan mitigasi bencana. Usaha yang tengah berlangsung setelahnya sampai hari ini, tidak hanya sebagai pemulihan perekonomian dan kehidupan di Palu dan Kabupaten Sigi yang sempat terhenti, tetapi juga mencegah dampak jika bencana kembali terjadi.

Sejatinya, mitigasi tidak hanya menggunakan pendekatan modern. Kota Palu dan Sigi berada di Lembah Palu sejak ribuan tahun silam, dan gempa sering terjadi. Oleh karena itu, pendidikan mitigasi sebenarnya telah diketahui secara kebudayaan oleh masyarakat tradisional, yang mungkin terlupakan hari ini.

Mohammad Herianto, Ketua Komunitas Historia Sulawesi Tengah bersama rekan-rekannya mencoba memperkenalkan kembali kebudayaan itu. Dari sana, ia merasa bahwa cara memitigasi yang cocok dengan masyarakat di sekitar Lembah Palu, dengan mengikuti pengetahuan yang diwariskan leluhur.

"Orang tua kita tidak mengenal budaya tulis. Yang kita harus lakukan hari ini adalah menulis kisah-kisah itu," kata pria yang lebih akrab disapa Anto.

Dia mengungkapkannya dalam bincang komunitas bertajuk "Kembali ke Budaya dan Tradisi untuk Sigi Tangguh Bencana", yang diadakan di Taman Taiganja, pada Jumat, 23 Juni 2023. Acara tersebut merupakan bagian dari rangkaian Festival Lestari V yang diadakan oleh Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL).

Anto mengungkapkan, di sekitar Kabupaten Sigi dan Kota Palu, keduanya saling terhubung dalam penuturan kisah tentang mitigasi. Semua terekam dalam cerita atau legenda dan nasihat yang diwariskan secara lisan. Semuanya punya pesan moral.

Masyarakat Sulawesi Tengah mengenal konsep ombo, jelas Anto. "Ketika orang tua kita dulu mengenal ombo, ini seperti larangan. Kearifan lokal orang tua kita dulu adalah, bahkan orang meninggal pun dibuatkan ombo (seperti sasi). Ada perintah larangan di mata air yang tidak boleh [tumbuhannya] ditebang," lanjutnya.

Senada dengan Anto, Ketua Dewan Kesenian Sigi Akbar Dian mengatakan, bahwa pembahasan tentang pelestarian lingkungan dan mitigasi bencana sudah diwariskan oleh leluhur di Sulawesi Tengah. Pewarisan itu bukan hanya dengan cerita dan nasihat saja, tetapi juga falsafah.

"Maka kalau hari ini kita punya alasan, kami tidak mendapat informasi persoalan mitigasi bencana menurut saya itu keliru. Iya, karena periksa semua kebudayaan literasi budaya kita sudah diajarkan persoalan kehidupan di dunia ini," tutur Akbar.

Salah satu legenda yang berhubungan dengan peristiwa alam adalah hikayat Danau Lindu. Ceritanya adalah bagaimana sebuah lokasi melibatkan konflik dua makhluk mitologi. Kemudian dari konflik tersebut, terjadi bencana alam yang membuat banjir bah menggenangi daratan yang menjadi Danau Lindu. Selain itu Lindu, sebagai nama toponimi, berarti gempa.

Akbar menilai, bencana gempa bumi Palu 2018 dan pandemi COVID-19, membuat banyak pihak mulai merenungkan kembali alamnya. Ada alasan mengapa manusia memilih Lembah Palu sebagai tempatnya tinggal, dan bagaimana mereka bisa bertahan hidup sampai hari ini.

Tentunya, ragam bencana sudah dilalui oleh peradaban manusia sehingga memetik pelajaran untuk mitigasi. Mitigasi yang dilakukan itu, direkam lewat tradisi dan seni bertutur masyarakat pada masa tradisionalnya.