Namun, fakta bahwa spesies tersebut telah punah menjelaskan kemungkinan kerentanan atau 'harga' menjadi berdarah panas.
Karena, menurut mereka, karena berdarah panas membutuhkan asupan makanan tinggi atau lebih banyak yang konstan.
Asupan makanan tersebut bertujuan untuk mempertahankan metabolisme yang tinggi.
Sangat mungkin, ia menambahkan, terjadi pergeseran lanskap ekologis akibat pendinginan iklim yang menyebabkan permukaan laut turun.
Hal itu mengubah lingkungan laut, di mana populasi jenis makanan megalodon bergantung, seperti mamalia laut, mungkin menjadi langka, dan menyebabkan kematian megalodon.
Kepunahan megalodon
Seperti beberapa hiu lain yang hidup saat ini, seperti hiu putih besar dan hiu mako, megalodon diperkirakan mampu melakukan termoregulasi, atau menyesuaikan suhu tubuhnya sebagai respons terhadap air yang lebih dingin atau lebih hangat.
Kemampuan tersebut memungkinkan megalodon untuk berburu di habitat yang lebih luas daripada hiu lainnya.
Leluhur mako masa kini dan hiu putih besar yang berenang bersama megalodon jutaan tahun lalu kemungkinan besar memiliki suhu tubuh sekitar 68 hingga 86 derajat Fahrenheit (20 hingga 30 derajat Celcius).
Michael Griffiths, seorang profesor di Departemen Ilmu Lingkungan di William Paterson University di New Jersey mengatakan, sebagai perbandingan, megalodon mungkin telah memiliki suhu tubuh setinggi 95 sampai 104 derajat F (35 sampai 40 derajat C), yang merupakan suhu tubuh paus.
"Dengan suhu tubuh setinggi itu, megalodon pasti memiliki metabolisme yang sangat aktif sehingga perlu sering diberi makan," kata Griffiths.
Kemudian, iklim menghangat, dan mangsa megalodon berpindah ke perairan yang lebih dingin di garis lintang yang lebih tinggi.
"Kelangkaan makanan dan persaingan dari spesies predator baru seperti paus pembunuh mungkin merupakan kombinasi fatal yang menyebabkan megalodon menuju kepunahan," jelas Griffiths.