Dunia Hewan: Megalodon Berdarah Panas dan Itu yang Membuatnya Punah

By Ricky Jenihansen, Rabu, 28 Juni 2023 | 09:00 WIB
Hasil penelitian mengungkapkan bahwa hiu megalodon memiliki darah panas dan punah karena itu. (Shutterstock)

Nationalgeographic.co.id—Hasil penelitian dari tim ilmuwan internasional mengungkap bagaimana dan apa yang membuat hiu megalodon (Otodus megalodon) punah.

Pertanyaan tersebut telah lama menjadi misteri di dunia hewan dan menarik perhatian banyak ilmuwan.

Para ilmuwan mempelajari fosil gigi hiu megalodon untuk menemukan mengungkap misteri tersebut.

Hasil penelitian mereka menunjukkan, bahwa spesies hiu berukuran jumbo yang telah punah itu berdarah panas.

Hiu megalodon, adalah spesies hiu terbesar dalam dunia hewan yang telah punah sekitar 3 juta tahun lalu.

Megalodon berukuran sangat besar dan berkeliaran di lautan dunia antara 23 juta dan 3,6 juta tahun yang lalu.

Menurut hasil penelitian ini, hiu megalodon kemungkinan besar berdarah panas dan memiliki suhu tubuh yang jauh lebih tinggi daripada hiu modern.

Megalodon yang artinya "gigi besar" itu sepertinya justru punah karena darah panas yang mereka miliki.

Karnivora berukuran jumbo ini sering tumbuh dengan panjang yang sama dengan trailer traktor, kira-kira sepanjang 50 kaki atau sekitar 15 meter.

Hasil penelitian itu telah diterbitkan Senin, 26 Juni 2023 dalam jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences. Jurnal tersebut dipublikasikan dengan judul "Endothermic physiology of extinct megatooth sharks" dan merupakan jurnal akses terbuka.

Seperti banyak spesies hiu, termasuk hiu putih besar (Carcharodon carcharias), hiu megalodon diklasifikasikan dalam penelitian baru sebagai "endotermik regional".

Hal itu berarti, megalodon dapat mempertahankan panas tubuhnya bahkan ketika lingkungan luarnya jauh lebih dingin.

Untuk penelitian tersebut, para peneliti menggunakan kombinasi teknik geotermal untuk memperkirakan suhu tubuh hiu raksasa berdasarkan komposisi berbagai isotop, atau versi elemen, dalam fosil gigi megalodon.

Perbandingan gigi megalodon dan gigi hiu putih. (Mark Kostich/Getty Images)

"Suhu di mana mineral terbentuk, termasuk jaringan keras yang termineralisasi secara biologis seperti gigi, dapat diekstrapolasi dari sejauh mana isotop ini telah terikat atau 'menggumpal' menjadi satu," kata rekan penulis studi Kenshu Shimada, kepada Live Science melalui email.

Shimada adalah seorang profesor paleobiology di the College of Science and Health at DePaul University di Chicago.

“Teknik geokimia yang digunakan sebelumnya digunakan untuk meneliti dinosaurus berdarah panas. Studi baru menunjukkan bahwa metode ini juga dapat diterapkan pada vertebrata laut seperti hiu menggunakan komponen anatomi yang keras dan termineralisasi dengan baik seperti gigi.”

Studi tersebut menemukan bahwa suhu tubuh rata-rata megalodon adalah sekitar 80 derajat Fahrenheit atau sektiar 27 derajat Celcius.

Sedangkan hiu modern dengan endotermi regional memiliki suhu tubuh rata-rata antara 72 F hingga 80 F atau sekitar 22 C hingga 26,6 C, menurut hasil penelitian itu.

Menurut tim peneliti, suhu tubuh megalodon yang meningkat akan memberikan banyak manfaat.

"Berdarah panas menguntungkan karena memungkinkan hewan untuk memiliki gaya hidup yang lebih aktif, seperti mampu berenang jarak jauh atau berenang cepat," kata Shimada.

"Hiu berdarah panas masa kini, seperti mako dan hiu putih besar, tidak hanya mampu berenang cepat dibandingkan dengan rekan mereka yang berdarah dingin, tetapi panas metabolisme mereka yang tinggi dari hiu berdarah panas juga memfasilitasi pencernaan makanan."

Namun, berdarah panas juga memiliki kelemahan dan bahkan mungkin menyebabkan, sebagian, kepunahan megalodon.

"Waktu hilangnya megalodon dalam catatan fosil sesuai dengan pendinginan iklim Bumi," kata Shimada. "Berdarah panas pasti memberikan 'keunggulan ekstra' bagi megalodon untuk dapat bertahan hidup di perairan yang dingin.

Namun, fakta bahwa spesies tersebut telah punah menjelaskan kemungkinan kerentanan atau 'harga' menjadi berdarah panas.

Karena, menurut mereka, karena berdarah panas membutuhkan asupan makanan tinggi atau lebih banyak yang konstan.

Asupan makanan tersebut bertujuan untuk mempertahankan metabolisme yang tinggi.

Sangat mungkin, ia menambahkan, terjadi pergeseran lanskap ekologis akibat pendinginan iklim yang menyebabkan permukaan laut turun.

Hal itu mengubah lingkungan laut, di mana populasi jenis makanan megalodon bergantung, seperti mamalia laut, mungkin menjadi langka, dan menyebabkan kematian megalodon.

Dalam catatan dunia hewan, megalodon diketahui pernah mendominasi lautan Bumi 22 juta tahun lalu. (Animal Wised)

Kepunahan megalodon

Seperti beberapa hiu lain yang hidup saat ini, seperti hiu putih besar dan hiu mako, megalodon diperkirakan mampu melakukan termoregulasi, atau menyesuaikan suhu tubuhnya sebagai respons terhadap air yang lebih dingin atau lebih hangat.

Kemampuan tersebut memungkinkan megalodon untuk berburu di habitat yang lebih luas daripada hiu lainnya.

Leluhur mako masa kini dan hiu putih besar yang berenang bersama megalodon jutaan tahun lalu kemungkinan besar memiliki suhu tubuh sekitar 68 hingga 86 derajat Fahrenheit (20 hingga 30 derajat Celcius).

Michael Griffiths, seorang profesor di Departemen Ilmu Lingkungan di William Paterson University di New Jersey mengatakan, sebagai perbandingan, megalodon mungkin telah memiliki suhu tubuh setinggi 95 sampai 104 derajat F (35 sampai 40 derajat C), yang merupakan suhu tubuh paus.

"Dengan suhu tubuh setinggi itu, megalodon pasti memiliki metabolisme yang sangat aktif sehingga perlu sering diberi makan," kata Griffiths.

Kemudian, iklim menghangat, dan mangsa megalodon berpindah ke perairan yang lebih dingin di garis lintang yang lebih tinggi.

"Kelangkaan makanan dan persaingan dari spesies predator baru seperti paus pembunuh mungkin merupakan kombinasi fatal yang menyebabkan megalodon menuju kepunahan," jelas Griffiths.